Infoacehtimur.com, Aceh – Pada 8 November 1999, yang kini genap 25 tahun lalu, Aceh menyaksikan salah satu aksi demonstrasi terbesar dalam sejarahnya. Ribuan masyarakat dari berbagai lapisan berkumpul di Banda Aceh untuk menuntut diadakannya referendum.
Keinginan masyarakat ini didorong oleh ketidakpuasan yang mendalam terhadap ketidakadilan dan perlakuan represif pemerintah pusat.
Aspirasi ini muncul sebagai respons atas konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, yang telah menimbulkan banyak korban jiwa serta penderitaan masyarakat setempat.
Tuntutan masyarakat Aceh kala itu adalah diadakannya referendum untuk menentukan masa depan Aceh, apakah tetap menjadi bagian dari Indonesia atau merdeka.
BACA JUGA: Mengenang 14 Tahun Hasan Tiro Tutup Usia, Tokoh Pendiri GAM dan Pemikiran yang Cerdas
BACA JUGA: 19 Tahun MoU Helsinki, Mengingatkan Hak dan Tanggung Jawab Para Pihak
Aksi ini terinspirasi oleh referendum di Timor Timur yang baru saja digelar beberapa bulan sebelumnya, di mana Timor Timur memilih untuk merdeka.
Harapan masyarakat Aceh adalah mendapatkan hak yang serupa, untuk menentukan nasib sendiri secara damai.
Meskipun aksi ini berjalan damai, tuntutan referendum tidak dikabulkan oleh pemerintah pusat.
Penolakan pemerintah untuk mengadakan referendum semakin memperburuk situasi di Aceh, yang saat itu sudah berada dalam ketegangan tinggi akibat konflik bersenjata antara GAM dan aparat keamanan.
Akibatnya, konflik terus berlanjut, dengan meningkatnya ketegangan antara aparat dan masyarakat.
Barulah pada 2005, melalui Perjanjian Damai Helsinki, konflik di Aceh akhirnya menemukan titik terang.
Perjanjian ini membawa perdamaian dan memberikan Aceh status otonomi khusus, yang memungkinkan masyarakat Aceh memiliki kewenangan lebih dalam mengatur wilayah mereka sendiri, termasuk menerapkan syariat Islam.
Tragedi tuntutan referendum di Aceh pada 1999 tetap dikenang sebagai bagian dari perjalanan panjang Aceh dalam mencapai perdamaian dan keadilan.***