INFOACEHTIMUR.COM, mendapatkan kecurangan pemilu di Kabupaten Aceh Timur. Dugaan Penggelembungan suara ini berawal dari hasil pleno Kabupaten Aceh Timur, pada 6 Maret 2024.
Salah seorang calon anggota DPD-RI dengan jumlah perolehan suara di Kecamatan Pante Bidari, Kabupaten Aceh Timur sebanyak 468 suara. Namun, terjadi lonjakan suara sehingga menjadi 5.468 setelah pleno Kabupaten.
Infoacehtimur.com, melakukan investigasi dengan mewawancarai salah seorang Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Kabupaten Aceh Timur, sebut saja Joel. Karena dia tidak ingin disebutkan namanya dengan alasan keamanan.
Joel mengaku, dalam penggelembungan suara itu melibatkan sesama petugas PPS inisial MDS, yang betugas di KIP Aceh Timur.
“Penggelembungan suara ini diduga dilakukan dengan sengaja berdasarkan suruhan dari calon DPD-RI tersebut,” kata Joel.
Joel bercerita, ia diminta MDS untuk melakukan penggelembungan suara untuk seorang caleg DPD RI, dengan iming-iming uang sejumlah 10 juta rupiah.
Joel diminta untuk memindahkan suara dari kotak suara orang lain ke kotak suara caleg DPD-RI yang dimaksud, namun, Joel menolak hal tersebut lantaran tidak pernah melakukan kecurangan sebelumnya.
“Ta peu’ek su goet nyan bah tanyoe na fee (kita naikkan suara dia biar kita ada fee atau uang,” kata Joel, meniru perkataan MDS.
“Kapalo, so yang yu nyoe dan pat tacok peng euntek? (Waduh, siapa yang suruh ini, dan dimana kita ambil uangnya nanti?),” tanya Joel.
“Na, kah but pokok jih ka pinah su goep keu get nyan atau ka mita cara untuk ka peuek nyan su keu goet nyan. Bak hino sekian na fee, karena awak KIP di maen sit. Pokok jih bek deuh long yang maen (Adalah, pokoknya Joel pindahin suara orang ke dia atau cari cara untuk kita naikkan suaranya. Nanti disini ada orang kasih uang, karena orang di KIP juga bermain, Oke?! (menggelembungkan) juga. Pokoknya jangan nampak saya yang bermain?!),” sambung Joel, meniru perkataan MDS.
“Loen kaloen ile (saya lihat dulu),” jawab Joel.
Investigasi yang berlangsung ini kemudian menuju ke MDS
Kepada Infoacehtimur.com, MDS mengakui ada upaya penggelembungan suara di KIP Aceh Timur. Adapun, metode penggelembungan suara dengan penambahan angka.
“Diantara Kabupaten laen yang di Aceh, cuma KIP Aceh Timur yang sengaja dipeutelat pleno yang seharus jih tanggai 5 kaleuh mandum. Tapi nyoe leuh tanggai 6, leuh nyan di umumkan malam sehingga hana deuh penggelembungan (Di antara Kabupaten lain yang di Provinsi Aceh, cuma KIP Aceh Timur yang sengaja diperlambat hasil pleno. Seharusnya selesai tanggal 5 malah selesai tanggal 6, diumumkannya pada malam hari sehingga tidak nampak KIP lakukan penggelembungan),” kata MDS.
Infoacehtimur.com, menyaksikan sendiri Pleno itu berlangsung di malam hari pada, 3 Maret 2024.
Namun demikian MDS tidak mau menjawab terkait pernyataan selanjutnya mengenai sejumlah uang yang diberikan oleh caleg DPD RI untuk melakukan penggelembungan suara.
Respon KIP Aceh Timur
Sementara itu Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Timur, Yusri yang dikonfirmasi Infoacehtimur.com, melalui telfon lantaran tidak berhasil ditemui langsung tidak memberikan penjelasan pasti soal pelanggaran pemilu. Berkaitan dengan penggelembungan suara terhadap salah seorang calon anggota DPD-RI.
“Caleg DPD nomor urut berapa,” tanya Yusri.
“Penggelembungan suara salah seorang calon anggota DPD-RI (yang sengaja tidak disebutkan namanya), seperti di Kecamatan Pante Bidari 468 suara, sementara di Kabupaten terjadi lonjakan yaitu 5.468 suara,” tanya Infoacehtimur.com, Senin (8/4/2024).
Yusri tidak merespon malah mendiamkan ponselnya setelah didiamkan selama beberapa menit.
Respon Yusri tersebut menimbulkan pertanyaan tentang transparan berkaitan dengan dugaan kasus pelanggaran pemilu penggelembungan suara.
Yusri, Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Timur, yang menghindari konfirmasi mengenai dugaan pelanggaran pemilu, mengungkapkan kekhawatiran mendalam mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilu.
Sedangkan Bawaslu Kabupaten Aceh Timur, Fazil sama sekali tidak merespon terkait dugaan pelanggaran pemilu penggelembungan suara.
Respon KIP dan Bawaslu Kabupaten Aceh Timur tersebut. Menimbulkan tanda tanya dan keprihatinan terkait dugaan penggelembungan suara.
Tanggapan Akademisi politik, Muhammad Azhar, yang telah lama mengikuti dinamika demokrasi di Indonesia, lonjakan suara misterius di Kabupaten Aceh Timur selama Pemilu 2024 tidak hanya mengejutkan tetapi juga menimbulkan keprihatinan.
Azhar, menyampaikan sikap KIP Aceh Timur yang menghindar atau tidak memberikan tanggapan atas pertanyaan yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran pemilu bukanlah cara yang dibenarkan dalam prinsip demokrasi.
Kata Azhar, dalam demokrasi, transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar utama yang harus selalu dijaga dan dipertahankan.
“Tidak hanya dugaan penggelembungan suara saja, pelanggaran lain juga ada di KIP Aceh Timur dan pernah kita laporkan,” kata Azhar.
Lanjut Azhar, ketika sebuah lembaga yang bertanggung jawab atas integritas pemilu menunjukkan sikap menghindar, hal ini bisa memunculkan keraguan dan kecurigaan dari publik terhadap proses pemilu itu sendiri.
KIP Aceh Timur dilaporkan ke Bawaslu RI
Pada 11 Maret 2024, sejumlah Akademisi politik mengambil langkah dengan melaporkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Timur ke Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI).
Laporan tersebut berisi serangkaian dugaan pelanggaran yang disinyalir terjadi selama proses pemilu berlangsung di wilayah Aceh Timur. Dugaan pelanggaran tersebut mencakup isu penggelembungan suara dan ketidaktransparanan dalam penghitungan suara, yang jika terbukti, dapat menodai integritas pemilu sebagai pilar demokrasi.
Dugaan pelanggaran itu, kata Azhar, yang juga pengajar di Unimal, mencerminkan potensi kerentanan sistem pemilu terhadap manipulasi dan praktik yang tidak adil yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Pemerhati politik yang terlibat dalam pelaporan ini bukan hanya mengandalkan klaim tanpa bukti, melainkan mengumpulkan data dan informasi yang memungkinkan untuk dijadikan dasar penelitian dan investigasi oleh Bawaslu RI.
“Ini bukan pertama kali dugaan pelanggaran penggelembungan suara yang dilaporkan. Tapi dua kali,” ujar Azhar.
Namun laporan yang diajukan oleh akademisi politik ini tidak mendapatkan respons yang memadai dari Bawaslu RI. Tidak adanya tindak lanjut yang signifikan atas laporan tersebut menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran dari berbagai pihak, terutama mengenai efektivitas mekanisme pengawasan pemilu di Indonesia.
Kejadian ini memunculkan diskusi tentang apakah ada hambatan struktural atau prosedural yang mencegah Bawaslu RI untuk bertindak secara efektif dalam menyelidiki dan menindaklanjuti laporan pelanggaran pemilu.
“Kami telah melaporkan kecurangan yang dilakukan KIP Aceh Timur ke Bawaslu RI, akan tetapi tidak ditindaklanjuti. Padahal, kami melaporkan dengan bukti yang cukup jelas. KIP Aceh Timur bukan hanya melakukan pelanggaran penggelembungan suara, bahkan banyak juga pelanggaran lain,” kata Azhar.
“Kejadian ini bukan hanya sekedar anomali statistik dalam perhitungan suara, ini adalah gejala dari masalah yang lebih luas yang mengancam integritas sistem demokrasi kita,” ujar Azhar.***