Menolak lupa hari paling berdarah terjadi di masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, pada 19 Mei 2003. Sekarang 19 Mei 2024, tepat 21 tahun pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Aceh, dalam operasi Militer yang menjadi korban warga sipil yang tidak berdosa.
Suatu hari kabar buruk datang dari Istana Negara, Presiden ke-5 Indonesia, Mega menandatangani dan memberlakukan Aceh sebagai daerah dengan status Darurat Militer, melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28 Tahun 2003.
Zaman Mega berkuasa dapat disebut sebagai pembunuh berdarah dingin. Perintahkan 30 ribu pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan 12 ribu polisi untuk menghabisi Aceh.
Ini Adalah Tragedi 19 Mei 2003 di Provinsi Aceh
Pengerahan pasukan dan armada perang besar yang dilakukan pemerintah Indonesia bertujuan untuk melumpuhkan GAM dan sayap militernya Teuntra Nanggroe Aceh (TNA). Justru sebaliknya.
BACA JUGA: Sejarah Hari Ini – 21 Tahun yang Lalu Presiden Megawati Berlakukan Darurat Militer di Aceh
Militer Indonesia berasumsi bahwa semua pemuda di Aceh adalah pejuang GAM, dan menargetkan warga sipil tanpa pandang bulu. Tentara masuk ke desa-desa dan mengeksekusi atau memukuli orang-orang secara acak di depan umum.
Truk baja dilapisi pohon kelapa berisi pasukan TNI keluar masuk desa, pesawat tempur juga sering melintas di langit, menggempur gunung dan perbukitan yang diduga sebagai tempat markas GAM. Aceh benar-benar menjadi arena perang masa itu.
Peristiwa tersebut menyebabkan adanya kasus penculikan, penyiksaan dengan kekerasan, orang hilang, pemerkosaan, intimidasi, dan diperkirakan 4000 orang meninggal dalam peperangan itu. Baik dari pihak TNI-Polri maupun pasukan GAM.
Tercatat warga sipil paling banyak terbunuh dibandingkan pasukan TNI-Polri maupun GAM, dalam peristiwa tersebut pasukan Indonesia klaim pembunuhan warga sipil Aceh justru dilakukan oleh pasukan GAM.
GAM yang terus melakukan aksi kekerasan terhadap warga sipil yang tidak berdosa mulai dari aksi pemerasan, penculikan, penyanderaan, penganiayaan, penembakan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa.
Selama peperangan berkecamuk, pasukan Indonesia di bawah kekuasaan militer dikendalikan penuh oleh Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya melakukan pembatasan bagi media.
Wartawan dipaksa memberitakan sepihak oleh Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Melarang wartawan untuk menulis informasi dari GAM yang disebutnya sebagai propaganda musuh, jika ada mereka dipanggil ke Kodam Iskandar Muda.
Keterbatasan informasi wartawan menginformasikan tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pasukan Indonesia. Pemerintahan Megawati menamakan operasi militer ini dengan sebutan “Operasi Terpadu”.
Kata “terpadu” merujuk keterlibatan bukan hanya komponen militer, melainkan program kemanusiaan, penegakan hukum, dan tata kelola pemerintahan daerah.
Kendati demikian, kekerasan tak terhindarkan. Amnesty International mencatat, selama masa operasi, sekitar 200.000 orang Aceh terpaksa tinggal di kamp pengungsian, anggota GAM tewas sejak Mei 2003, dan warga sipil meregang nyawa selama Mei 2003 – 2004.
Menurut Amnesty International, pihak militer Indonesia pun gagal membedakan antara kombatan dan non-kombatan. Upaya memutuskan dukungan logistik dan moral untuk GAM, pasukan keamanan memindahkan penduduk sipil dari rumah dan desa secara paksa.
Melakukan serangan bersenjata dan penyisiran dari rumah ke rumah. Warga sipil dipaksa berpartisipasi dalam macam-macam kegiatan yang mendukung operasi militer.
Dalam laporan berjudul Aceh at War: Torture, Ill-Treatment and Unfair Trials, Human Rights Watch mewawancarai 35 orang dewasa dan anak-anak tahanan dari Aceh di lima penjara di Jawa Tengah.
Mereka memberi kesaksian telah disiksa dengan cara merendahkan martabat manusia, termasuk disetrum dan disundut rokok. Tidak heran jika ada warga Aceh yang bahkan hingga mengungsi ke Malaysia.
Menurut laporan Human Rights Watch, ribuan warga Aceh mengungsi ke Negeri Jiran. Karena Malaysia tidak memiliki sistem yang bisa melindungi para pengungsi, masih menurut organisasi pemantau HAM berbasis di New York itu, para pengungsi Aceh kemudian ditangkap, ditahan, dan dipulangkan.
Catatan Redaksi Infoacehtimur.com: Artikel ini tidak bermaksud menimbulkan luka lama. Namun, membuka pengetahuan publik bahwa di Provinsi Aceh pernah terjadi pelanggaran HAM berat.
Sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di Provinsi Aceh, telah diakui oleh Joko Widodo, sebagai presiden Republik Indonesia ke-7, dan menyerahkan secara simbolis program pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu.