Muhammad Gamal Demisioner Kampus Bem KBM ITPLN Institut Teknologi PLN Jakarta
Pembangunan empat Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) di wilayah Aceh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui Komando Daerah Militer Iskandar Muda (Kodam IM) patut dipertanyakan.
Apakah langkah ini benar-benar strategis untuk memperkokoh sistem pertahanan di wilayah Aceh, ataukah hanya akan memicu kecurigaan dan ketidakpercayaan?
Dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, terdapat beberapa butir penting yang harus menjadi dasar pertimbangan sebelum mengambil kebijakan militer di Aceh.
Pembangunan batalyon baru yang secara implisit akan mendatangkan tambahan pasukan ke Aceh bertentangan dengan semangat MoU Helsinki.
Saat ini, Aceh telah menjadi wilayah yang damai, stabil, dan kondusif. Kehadiran batalyon baru bukan merupakan kebutuhan mendesak.
Justru, yang lebih dibutuhkan masyarakat Aceh adalah pemerataan akses pendidikan, peningkatan layanan kesehatan, pengembangan ekonomi lokal, revitalisasi sektor pertanian, peningkatan kualitas SDM, dan penguatan industrialisasi berbasis potensi daerah.
Pembangunan batalyon dalam kondisi damai ini berisiko memicu kecurigaan, ketidakpercayaan, dan bahkan ketegangan sosial-politik baru di Aceh.
Sudah saatnya fokus pembangunan di Aceh diarahkan pada penguatan sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, bukan pada peningkatan kekuatan militer yang justru bisa menghidupkan kembali luka lama.
Aceh tidak kekurangan prajurit, tapi kekurangan sekolah, rumah sakit, dan lapangan kerja. Mari kita membangun masa depan Aceh dengan bijak dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Aceh butuh sekolah, bukan barak.