Infoacehtimur.com | Banda Aceh – Aceh Institute melakukan diskusi secara daring guna merespon persoalan akan adanya pejabat (Pj) Gubernur Aceh yang ramai diperbincangkan selama ini.
Diskusi bulanan Balee Seumike The Aceh Institute tersebut bertajuk “Siapakah Sosok Tepat Pj Gubernur Aceh” itu berlangsung secara daring, Kamis (27/5).
Direktur Aceh Institute, Muazzinah Yacob mengatakan, diskusi tersebut bertujuan melihat sosok Pj Gubernur. Kalangan apa yang paling tepat memimpin Aceh mengingat banyaknya persoalan krusial dalam pembangunan Aceh.
Baca Juga: Ketua DPRA Ungkap Mendagri Telah Batalkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh
Azhari Cagee Berang, BRA Lebih Baik Dibubarkan Saja, Anggaran Hanya Rp 24,8 Miliar
“Dinamika di masyarakat ada yang menginginkan kalangan sipil ataupun kalangan militer,” katanya.
Lanjutnya, dengan demikian Aceh Institiute perlu mengkaji dalam diskusi. Dengan menghadirkan pembicara yaitu Teuku Jamaica selaku masyarakat, Bardan Sahidi selaku anggota Komisi I DPRA, Otto Syamsuddin Ishak selaku akademisi dan Cut Meutia selaku pengamat. Sementara yang bertindak sebagai moderator ialah Misbahul Munawar.
Sementara itu, salah seorang Akademisi, Otto Syamsuddin Ishak menjelaskan, anatomi masalah yang terjadi di Aceh adalah kemiskinan dan kurangnya kemampuan dalam mendistribusikan aspirasi politik ke pusat.
Mestinya dengan melihat apa yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah di Aceh misal dalam hal kemiskinan, partai politik (Parpol) dapat menggunakan jalur resmi seperti DPRA untuk lobby politik siapa sosok yang tepat bagi PJ Gubernur Aceh dalam penyelesaian masalah tersebut.
Baca Juga: Front mahasiswa tuntut gubernur tuntaskan banyak masalah di Aceh
Pemerintah Aceh Diminta Batalkan Kebijakan Pemberhentian JKA
“Namun saat ini kita lihat Parpol hanya bicara-bicara saja tanpa menempuh jalur resmi. Problematika Aceh kita bukan terkait keamanan, namun pada masyarakat yang terpecah,” ungkapnya.
Dapat dikatakan, tambahnya, bahwa penunjukan PJ Gubernur Aceh yang tidak merujuk pada UUPA membuktikan bahwa Aceh telah kalah dalam lobby.
Sedangkan perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Bardan Sahidi menjelaskan tentang kriteria bagi calon PJ Gubernur Aceh versi DPRA yaitu orang Aceh yang beragama Islam dan mampu menjalankan syariat Islam serta memahami masalah Aceh.
“Mempunyai komitmen yang kuat untuk menjaga perdamaian, pembangunan berkelanjutan dan memperjuangkan penguatan kewenangan Aceh,” jelasnya.
Selain itu, tambahnya, mempunyai komitmen untuk membangun komunikasi dan kerja sama yang baik dengan semua pihak, menjamin netralitas dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2024, menyelesaikan permasalahan Bendera dan Lambang Aceh serta menuntaskan program Reintegrasi Aceh.
Baca Juga: Ketua DPRA Ungkap Mendagri Telah Batalkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh
Tgk Yunus Minta Ketua DPRA Panggil Kapolda untuk Klarifikasi Soal Kata Makar
“Juga memperjuangkan program-program strategis nasional, mempertahankan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA),” cetusnya.
Dan yang terakhir, katanya, mempunyai komitmen menjalankan butir-butir MoU Helsinki, UUPA, UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaran Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut Jamaica, Aceh sangat membutuhkan sosok yang tegas dan netral, paham teritorial, paham masalah yang terjadi di Aceh, paham terkait masalah ekonomi dan sosial.
“Dan saya merasakan bahwa sosok itu ada pada mantan Pangdam Iskandar Muda,” katanya.
Menurutnya PJ Gubernur sangat layak diampu oleh sosok dari kalangan militer yang memiliki karakter yang tegas, kelebihannya keamanan terjamin, integritas tinggi, paham akan NKRI, dan memiliki sistem komando yang kuat.
Pengamat Cut Meutia memberikan paparan “Terserah, boleh dari sipil atau militer, yang penting adalah Ideologi ke-Acehannya.
“Namun jika dari kalangan militer, tantangannya adalah tidak terlepasnya image Aceh sebagai daerah konflik,” ungkapnya.
Tambahnya, PJ bukan hanya sebagai mengatur administrasi atau mengisi kekosongan, namun juga harus orang yang dapat membangun Aceh. Jika masih ada dari sipil mengapa ambil dari kalangan militer, jika masih ada dari yang lokal kenapa harus dari inter-lokal (luar).
“Jangan sampai istilahnya nanti datang ke Aceh membawa M-16, lalu setelah itu membawa pulang Rp16 M,” imbuhnya.
Editor: Sarina | Ajnn.net