INFOACEHTIMUR.COM | Pemberhentian pembayaran premi kesehatan untuk 2,2 juta rakyat Aceh oleh pemerintah Aceh dalam program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) masih menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat Aceh.
Hal ini disebabkan ada banyak masyarakat kurang mampu yang selama ini preminya dibayar oleh pemerintah Aceh akan dihentikan terhitung sejak 1 April 2022, dengan demikian masyarakat harus membayar sendiri premi kesehatan melalui BPJS senilai 35.000/jiwa/bulan untuk kelas III.
Alasan pemberhentian itu diantaranya anggaran tersebut akan digunakan untuk membiayai usulan kegiatan baru hasil reses anggota DPRA senilai Rp. 990 Miliar, potongan anggaran tersebut juga untuk menyelesaikan percepatan pembangunan rumah sakit regional di lima daerah, berikutnya akibat ketersediaan anggaran pasca menurunnya dana otsus yang akan berlangsung mulai tahun 2024.
Alasan berikutnya adalah DPRA bersama pemerintah ingin mengevaluasi kerjasama pemerintah dengan pihak BPJS yang dianggap perlu, mulai dari sinkronisasi data serta evaluasi kelanjutan kerjasama dengan pihak BPJS, karena berbagai catatan, termasuk banyaknya keluhan yang diterima pihak DPRA dari masyarakat.
Aktivis Lembaga Kajian Strategis dan Kebijakan Publik (Lemkaspa) Aceh, Sanusi Madli, mendukung penuh langkah pemerintah untuk melakukan evaluasi kerjasama dengan pihak BPJS dan membuka peluang untuk bekerjasama dengan pihak ketiga selain BPJS.
“Kami mendukung langkah itu sebagai bagian dari perbaikan layanan kesehatan kepada masyarakat Aceh, hal itu juga sebagaimana amanat UUPA dan Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2010,” ujar sanusi, Senin (14/3/2022).
Namun yang sangat disesalkan adalah Pemerintah Aceh menghentikan pembayaran premi kesehatan sehingga masyarakat harus membayar sendiri, harusnya itu jangan dihentikan sehingga masyarakat Aceh tetap dapat berobat secara gratis disemua rumah sakit pemerintah dan swasta dan masyarakat tidak terbebani.
“Ini juga bagian dari kegagalan penerapan qanun nomor 4 tahun 2010, misalnya dalam pasal 43, pemerintah Aceh berkewajiban menyelenggarakan jaminan kesehatan secara paripurna kepada penduduk aceh, baik dilakukan sendiri oleh Pemerintah Aceh atau melalui sebuah badan, dan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga,” lanjut sanusi
Seharusnya Pemerintah Aceh menyiapkan badan atau menjajaki terlebih dahulu pihak yang ingin diajak kerjasama selain BPJS, sehingga ketika diputuskan kerjasama dengan BPJS, bisa langsung melanjutkan kerjasama dengan pihak lainnya.
“Harusnya ketika kerjasama dengan BPJS diputuskan, maka sudah ada pihak ketiga lainnya yang diajak kerjasama, sehingga layanan tidak terganggu dan masyarakat tidak resah, kami justru menduga, alasan evaluasi kerjasama dengan bpjs dengan menghentikan pembayaran premi adalah alasan sampingan, bukan alasan utama,” ucap sanusi
Oleh karena itu, Pemerintah Aceh bersama DPRA agar membatalkan kebijakan tersebut, jikapun tidak lagi mengandalkan BPJS, anggaran untuk kesehatan tetap disediakan sehingga masyarakat Aceh tetap dapat berobat gratis disemua rumah sakit.
“Kami berharap penghentian pembayaran premi ini dibatalkan dulu, evaluasi silahkan dilanjutkan sembari mencari pihak lain yang dapat diajak kerjasama selain BPJS, juga sinkronisasi data perlu segera diselesaikan, dan yang terpenting adalah DPRA juga mengevaluasi penerapan qanun nomor 4 tahun 2010 oleh Pemerintah Aceh,” tutup Mantan Ketua DPM USK ini