Pernyataan resmi :
Oleh : Fakhrurrazi
Aktivis Gerakan Pemuda Ansor Aceh
Banda Aceh – Akrivis gerakan pemuda ansor aceh ikut menanggapi bisnis obat ilegal jenis tramadol yang saat ini sedang menyita perhatian publik, pasca kejadian penculikan dan pembunuhan terhadap warna aceh di tanggerang, banten.
Kejadian penculikan dan pembunuhan ini bukan baru pertama kali terjadi, tetapi kegiatan ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
Seperti yang di ungkap sejumlah pihak, bahwa anak muda aceh saat ini diperantauan banyak terlibat dalam bisnis tramadol.
Fakhrurrazi, yang juga pimpinan cabang gerakan pemuda ansor lhokseumawe mengungkapkan. Peristiwa kemanusian ini sudah terjadi sejak 2017 yang lalu, ketika ormas-ormas tertentu terbentuk dalam sebuah putusan hukum yang ingkrah secara organisasi.
“Dimana pelaku organisasi tersebut memanfaatkan orang aceh di perantauan, lalu bersembunyi dibalik kegiatan sosial yang penuh dengan kemunafikan,” ungkapnya.
Aktivis gerakan pemuda ansor aceh, meyakini bahwa ada pihak-pihak ormas tertentu yang terlibat dalam sindikat bandit tramadol demi keuntungan pribadi, antara kesan dan kenyataan berbanding terbalik,.
“Sungguh ini tindakan biadab yang dilakukan oleh ormas tersebut.
Kenapa ada ormas yang terlibat dan terjebak dalam sistem sindikat bandit?. Ini adalah jejaring untuk memberikan pengamanan terhadap toko atau penjualan obat ilegal jenis tramadol, dengan demikian mereka mendapatkan keuntungan dengan berbagai variasi harga tergantung tempat berdirinya toko perjual.
Diantaranya, kurang lebih satu titik sepuluh juta hingga lima belas juta rupiah perbulan.
Lalu apakah setelah membayar uang keamanan perbulan tersebut penjual sudah aman, belum tentu. Bahkan, jika mereka tidak bergabung dalam ormas tersebut maka mereka dari pihak ormas akan mengancamnya, dari penculikan hingga pembunuhan.
“Tentu, ini bukan pekerjaan yang baik untuk kita semua, sungguh ini perbuatan dan tindakan biadab yang tidak dapat kita torerir siapa pun pelakunya”.
Permasalahan ini, tidak semuanya bermuara pada institusi TNI dan Polri, tetapi juga pada berjalannya lembaga negara seperti BP-POM sebagai otoritas pengawasan obat.
Sehingga toko obat dapat memperjualbelikan dengan mudah bagi pembeli, tanpa membawa resep dokter tertentu hingga terdapat penyalahgunaan oleh masyarakat tersebut. []