Infoacehtimur.com, Politik – Pilkada Aceh 2024 menghadapi masalah serius setelah calon gubernur Bustami Hamzah dan calon wakilnya Fadhil Rahmi dinyatakan tereliminasi atau dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KIP Aceh pada Sabtu (21/9/2024).
Pernyataan keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh mengisyaratkan pasangan calon Muzakir Manaf alias Mualem dan Fadhlullah harus menghadapi kotak kosong dalam pemilihan yang akan datang.
KIP Aceh mengungkapkan bahwa Bustami dan Fadhil tidak memenuhi syarat pencalonan, terkait dengan komitmen menandatangani MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang seharusnya dilakukan dihadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Kondisi ini juga menimbulkan pertanyaan besar tentang tanggung jawab DRPA yang seharusnya melaksanakan rapat paripurna untuk mengesahkan komitmen tersebut.
BACA JUGA: Pasangan Bustami-Fadhil Tidak Memenuhi Syarat Maju Pilkada 2024
Hingga berakhirnya masa perbaikan persyaratan administrasi calon pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh tahun 2024, pasangan Bustami-Syech Fadhil belum menandatangani poin itu.
Pada dasarnya, penyebab utama kegagalan pasangan Bustami-Fadil Rahmi bukan karena kesalahan mutlak calon, melainkan tidak melaksanakannya rapat paripurna penandatanganan komitmen yang merupakan kewenangan DPRA.
Ketidakmampuan DPRA dalam menjalankan tugasnya berpotensi merusak proses demokrasi dan membuat calon yang layak terpaksa tersisih.
Hingga berita ini diterbitkan, KIP Aceh belum memberikan tanggapan resmi atas salinan Berita Acara yang menetapkan pasangan Bustami-Syech Fadhil tidak memenuhi syarat maju Pilkada.
Situasi ini juga menyoroti tantangan yang dihadapi dalam sistem pemilu Aceh, dimana calon yang tereliminasi akibat kendala prosedural dapat mengguncang kepercayaan publik terhadap integritas pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2024.
Sebagai dampaknya, masyarakat Aceh kini dihadapkan pada pilihan yang terbatas, dengan satu pasangan calon yang bersaing melawan kotak kosong, yang mencerminkan ketidak mampuan Aceh menggelar Pesta Demokrasi, serta ketidakpuasan dan kekecewaan atas proses demokrasi yang berjalan.
Apakah DPRA dan KIP akan bertanggung jawab atas terhambatnya demokrasi di Aceh ?, atau akankah masyarakat Aceh bersatu untuk menuntut perbaikan “roda perjalanan” Pilkada.
Pertanyaan ini akan terus menggema menjelang Pilkada 2024, saat publik menanti jawaban dari lembaga-lembaga yang seharusnya menjamin keadilan dan transparansi dalam proses demokrasi.***/ILHAM.