Barisan ini memakai seragam merah, dibekali ilmu bela diri, dan dilengkapi senjata pedang.
Barisan Teuntra Mirah bertugas menertibkan dan mencegah maksiat di sepanjang garis pantai Idi Cut yang merupakan objek wisata masyarakat.
Akibat dari aksi Barisan Teuntra Mirah, Teungku Ahmad Dewi seringkali harus berhadapan dengan aparat keamanan.
Menurut keterangan seorang mantan Barisan Teuntra Mirah, masalah-masalah ini berhasil diselesaikan oleh Teungku Ahmad Dewi dengan jalan dialog
Teungku Ahmad Dewi, bersama BTM; Barisan Teuntra Mirah-nya.
Pada tahun 1980, Teungku Ahmad Dewi kembali ditangkap setelah berdakwah di Idi Rayeuk, lokasinya di depan pendopo sekarang, menghadap ke masjid jamik.
Dalam dakwah yang disesaki puluhan ribu pengunjung ini, ia dituduh subversif, dan ditahan di Langsa selama dua tahun tanpa putusan pengadilan.
Meskipun di penjara Tgk. Ahmad Dewi tetap berdakwah, hanya saja sasaran dakwahnya kali ini menjadi lebih spesifik, yaitu para penghuni rutan saja.
Ia menggelar pengajian untuk mengajak narapidana bertobat kembali ke jalan Allah.
Di sisi lain, penahanan itu justru mendongkrak popularitasnya, bahkan menjadi pemberitaan media nasional.
Maka tidak heran jika setiap persidangan beliau dipenuhi ratusan ribu massa yang ingin meyaksikan jalannya persidangan sang dai.
Bersamanya juga turut ditahan Teungku H. Azhar BTM (wakil pimpinan dayah BTM). Setelah 1,8 tahun ditahan, Teungku Azhar disidang, lalu dibebaskan.
Sementara Teungku Ahmad Dewi baru di bebaskan setelah lima bulan Tgk. Azhar menghirup udara kebebasan. Teungku Ahmad Dewi dijemput oleh masyarakat Sungai Pauh Langsa, dipeusijuek dan diantarkan ke dayahnya, BTM Idi Cut.
Awal tahun 1983, beliau memimpin kembali dayah BTM. Dayah yang sempat sepi semasa beliau ditahan, dengan drastis pelajarnya membludak sekembali beliau.
Dalam tahun 1984, santri di dayah ini telah mencapai 400 orang santri putra putri.
Pada tahun 1985 ia berdakwah tujuh hari tujuh malam dalam rangka deklarasi pemerintahan syariat Islam di Aceh.
Dakwah ini diselenggarakan dengan mengundang para ulama dari berbagai penjuru Aceh untuk mencari solusi petegakan syariat Islam di Aceh.
Pada tahun 1986 beliau menikath dengan Cut khairiyah binti Tgk. H. Muhammad Thaib, Paloh Meria Lhokseumawe.
Beliau terus menetap di dayah BTM bersama keluarganya, dan dikaruniai putera pertama yang diberi nama Fatahillah (1987), anak kedua Fatimah Dewi (1989).
Meninggalnya Tgk. Ahmad Dewi
Pada hari Sabtu, 1 Maret 1991 pukul 09.00 wib, Tgk. Ahmad Dewi menerima surat dari abangnya Tgk. Muhsinullah.
Ia diminta segera menjenguk abangnya yang sedang ditahan pasukan TNI di Tank Batre, Desa Alue Ie Mirah. Tgk. Ahmad Dewi berangkat dengan mengendarai mobil Chevrolet bersama supir bernama Asnawi.
Pada waktu itu Aceh berstatus siaga, Operasi Jaring Merah dilancarkan di Aceh. Sejak kepergian hari itu, Teungku Ahmad Dewi tidak pernah muncul lagi di atas podium meyuarakan tegaknya syariat Islam di Aceh.
Walaupun Teungku Ahmad Dewi telah tiada, pengikut-pengikut setianya selalu memperjuangkan agar di Aceh diberlakukan syariat Islam. Akhirnya pemerintah mengumumkan pemberlakuan syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini.
Halaman Selanjutnya