Infoacehtimur.com, ACEH UTARA – Konflik Agragria yang mendera warga Aceh telah terjadi disejumlah kabupaten/kota, termasuk di Batee 8, Simpang Keuramat, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. Namun hinga kini belum tuntas alias tak kunjung usai.
Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pun disebut nihil fungsi dan tumpul fikir dalam penyelesaian kasus tersebut, demikian disebut oleh Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR) Kota Lhokseumawe.
Ia menutur bahwa wakil rakyat di DPRA tak memiliki rasa malu karena secara terang mempertontonkan sikap enggan terlibat dan enggan merasakan kepedihan masyarakat yang kehilangan tanah adat atas serakahnya perusahaan yang “menjajah”.
“DPRA jangan kebanyakan minum obat tidur. Tanah yang bersengkata di Provinsi Aceh sudah ribuan hektar dan 57 warga telah dipenjara,” terang KPW SMUR Kota Lhokseumawe.
Sebagai informasi, luas lahan yang bersengketa di empat kabupaten di provinsi Aceh mencapai 5.420,5 hektare. Dengan jumlah korban konflik agraria 4.080 jiwa serta 57 orang dipidana dengan tuduhan memasuki lahan orang lain tanpa izin.
“DPRA tidak berfungsi. Keserakahan perusahaan yang jadi konflik antara masyarakat Batee VIII dan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT setya Agung telah dibiarkan.” ucap Ketua KPW SMUR Kota Lhokseumawe Rizal Bahari (30/05/2024).
Terkait Konflik Agraria di Aceh Utara, KPW SMUR KOta Lhokseumawe menyebut bahwa pada 15 maret 2022 silam, masyarakat Kilometer VIII telah melakukan audiensi dengan pihak DPRA, dalam pertemuan tersebut DPRA menjajikan pembentukan panitia khusus (Pansus) untuk menangani persoalan konflik agraria di KM.VIII.
Namun, hingga kini pembahasan tentang panitia khusus tersebut tak kunjung dilaksanakan oleh DPRA, sehingga terkesan DPRA sengaja mengabaikan nasib tanah adat masyarakat Batee VIII.
Kemudian, pada tanggal 28 Mei 2024 masyarakat Batee 8 kembali memenuhi undangan dari Muspika Simpang Keramat untuk malakukan dialog dengan pihak PT Setya Agung meminta perusasahaan untuk melakukan pengukuran ulang HGU secara keseluruhan demi memperjelas tapal batas HGU perusahaan yang di keluarkan Badan Pusat Pertanahan.
Lagi-lagi nihil solusi, pihak perusahaan PT Setya Agung tidak menerima usulan masyarakat dengan dalih biaya pengukuran lahan terlalu mahal serta tidak adanya persetujuan dari pihak bos besar perusahaan yang berada di Medan.
Front Batee VIII Menggugat dan Solidaritas mahasiswa untuk rakyat (SMuR) mendesak DPRA supaya memanggil BPN untuk membuka data HGU PT. Setya Agung dan segera menghentikan aktivitas perusahaan sebelum konflik agraria itu diselesaikan.
“Sampai kapan warga Batee 8 dibiarkan gelisah dan berprasangka bahwa DPRA bermain mata dengan perusahaan lalu diam melihat persoalan rakyat Aceh ?”, tanya Rizal Bahari, Ketua KPW SMUR Kota Lhokseumawe.
Sikap DPRA yang tidak serius menangani problem agraria di aceh, disebut telang mengakibatkan konflik agraria terus berulang dan menjadi warisan turun-temurun dari setiap pemerintahan. Padahal, jumlah konflik terus terakumulasi dan sewaktu-waktu bisa terjadi ledakan konflik agraria secara besar besaran di Provinsi Aceh.