Kawasan ini dihuni oleh ratusan ekor gajah liar yang telah menjadi sumber konflik berkepanjangan, menjadikannya sebagai salah satu lokasi dengan tingkat konflik satwa tertinggi di Indonesia.
Menurut Zamzami mengubah kawasan hutan ini menjadi lahan perkebunan bagi mantan kombatan diperkirakan hanya akan memperparah konflik satwa, menjadikan lahan ini sangat tidak layak.
Tidak hanya itu, beberapa perusahaan perkebunan seperti PT Atakana Company, PT Dwi Kencana Semesta, PT Indo Alam, PT Bumi Flora, PT Aloer Timur, dan PT Putri Hijau mengalami kerusakan lahan akibat serangan gajah. Diperkirakan lebih dari 20.000 hektar lahan rusak, hampir sama dengan luas lahan yang diajukan pemerintah untuk eks kombatan.
Baca Juga: Zulfazli Aiyub Bacalon Bupati Aceh Timur, Pengusung: Partai Aceh Harus Prioritaskan Eks GAM
Baca Juga: Apes! Pria di Aceh Timur Ini Nekat Remas Bokong Istri Eks Kombatan GAM
Contoh lain dari kegagalan program ini adalah pembangunan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Sumedang Jaya di Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Sebanyak 189 unit rumah dibangun di lahan seluas 500 hektar dari 7.200 hektar eks Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Gunung Raya Medang.
Diresmikan pada tahun 2016, namun saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Akses yang rusak berat dan tingginya konflik dengan gajah membuat masyarakat meninggalkan lokasi tersebut.
“Kesalahan serupa hendaknya tidak diulangi oleh Pemerintah Aceh dan Kementerian ATR/BPN dengan merencanakan pembangunan di dalam hutan,” ungkapnya.
Halaman Selanjutnya