Infoacehtimur.com | Internasional – Exxon Mobil diwajibkan membayar kompensasi denda sebesar US$288.900,78 atau Rp4 miliar untuk mengganti biaya hukum lawannya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh.
Pengadilan AS memerintahkan raksasa minyak itu untuk membayar biaya itu kepada pengacara penggugat setelah deposisi yang gagal.
Seperti dilansir Aljazeera, perintah Hakim Distrik AS Royce Lamberth yang dikeluarkan pada Kamis pekan lalu merupakan lanjutan atas tegurannya kepada mantan penasihat ExxonMobil Alex Oh dan mantan firma hukumnya, Paul, Weiss, Rifkind, Wharton & Garrison.
Mereka dinyatakan bersalah atas pelanggaran litigasi setelah Oh menghina pengacara lawan dengan kata-kata kasar selama deposisi.
John Doe telah menyeret Exxon Mobil dalam kasus kekerasan di Aceh melalui pengadilan di District of Columbia selama dua dekade.
“Sanksi adalah masalah yang sangat besar,” kata Michel Paradis, seorang pengacara hak asasi manusia dan dosen di Columbia Law School di New York seperti yang dikutip Al Jazeera, Rabu (20/4/2022).
“Itu jarang terjadi dan sering kali mencerminkan frustrasi sejati seorang hakim dengan bagaimana seorang pengacara atau suatu pihak telah bertindak,” katanya.
Pada tahun 2020, Mark Snell, penasihat umum regional Asia Pasifik ExxonMobil, “dengan keras, berulang kali, dan secara tidak wajar menghalangi pernyataannya sendiri” dan menolak untuk menjawab pertanyaan, membuang-buang waktu dan memberikan jawaban yang tidak akurat dan mengelak tentang apakah dia membaca dari catatannya dan siapa yang menyiapkan mereka, menurut dokumen pengadilan.
Kasus ini diajukan ke Pengadilan Distrik untuk Distrik Columbia pada tahun 2001 setelah tuduhan bahwa penduduk desa Indonesia menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penyerangan seksual, penyiksaan, pemerkosaan, dan kematian yang tidak wajar di sekitar pabrik minyak dan Gas ExxonMobil di Lhoksukon, Provinsi Aceh selama akhir 1990-an dan awal 2000-an.
Mobil Oil Indonesia, sebutan resmi perusahaan tersebut, bersama Exxon Mobil telah memulai operasi ladang gas Arun pada tahun 1968, perusahaan ini menghasilkan pendapatan tahunan lebih dari $1 miliar pada akhir 1990-an.
Mereka dinilai mengkontrak militer Indonesia untuk menjaga fasilitasnya di Aceh dengan biaya $500.000 per bulan.
Pada saat itu, Aceh sedang terlibat dalam perang saudara yang berkepanjangan antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebuah kelompok separatis yang menuntut otonomi dari seluruh negeri.
Ke-11 penggugat dalam kasus tersebut, beberapa di antaranya diwakili oleh keluarga korban, menuduh bahwa tentara yang dikontrak oleh ExxonMobil melakukan penggerebekan yang bertujuan untuk membasmi tersangka separatis, menyiksa dan membunuh anggota masyarakat lokal yang tidak bersalah dalam proses tersebut.
ExxonMobil dengan tegas membantah mengetahui tentang penyalahgunaan oleh kontraktor di bawah pengawasannya.
Baca Juga:
- Kembangkan Sayap, Aliansi Santri Antar Dayah di Lhoksukon Lakukan Sejumlah Program Unggulan Ramadhan
- Kodim 0103 Aceh Utara Salurkan Bantuan Tunai Pada 629 Pedagang Kaki Lima Warung dan Nelayan
- Dokter Muhammad Jailani Sang Panyumbang Operasi Bibir Sumbing Gratis Aceh, Tutup Usia
Andreas Harsono, seorang peneliti di Human Rights Watch Indonesia, mengatakan bahwa putusan pengadilan terbaru harus mendorong Exxon Mobil untuk berhenti “bertele-tele” dan terlibat dengan substansi kasus.
“Pasukan keamanan Indonesia menggunakan dana perusahaan Exxon untuk operasi militer yang dirancang untuk menghancurkan perbedaan pendapat di Aceh dan untuk meningkatkan kapasitas untuk terlibat dalam taktik represif terhadap militan Aceh,” kata Harsono kepada Al Jazeera.
Exxon Mobil tolak berkomentar
Terry Collingsworth, yang mengajukan kasus dan mewakili penggugat, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pihaknya tidak dapat berkomentar “selain untuk mengonfirmasi bahwa ini adalah penghargaan kepada penasihat penggugat untuk waktu dan biaya dalam memaksa Exxon untuk mematuhi kewajiban pertemuan”.
Beberapa penggugat, yang tercantum dalam dokumen pengadilan sebagai John dan Jane Does untuk melindungi identitas mereka, mengatakan bahwa mereka menyambut baik sanksi tersebut dan mengungkapkan standar ganda seputar deposisi.
Baca Juga:
- Google Adsense Jeda Monetisasi Konten yang Membenarkan Perang Ukraina
- Mahasiswa Kedokteran asal Aceh Akhirnya Dievakuasi Setelah Terjebak Perang di Ukraina
- Setelah Harga Minyak Dunia, Kini Giliran Industri Otomotif Mobil ‘Terancam’ Perang Rusia – Ukraina
Latar belakang Exxon Mobil ditutuh langgar HAM di Aceh
Gugatan diajukan di pengadilan distrik Columbia, Amerika Serikat oleh organisasi yang berkantor di Washington, International Labor Rights Fund.
Tindakan tersebut dilakukan dengan mewakili sebelas penduduk desa Aceh yang namanya dirahasiakan yang mengalami penderitaan langsung akibat tindakan-tindakan pasukan keamanan Indonesia yang bekerja bagi Exxon Mobil dan/atau pengolah gas PT Arun.
Peristiwa-peristiwa yang diuraikan penggugat sebagian besar terjadi pada tahun lalu dan sekarang ini seperti yang dilansir downtoearth-indonesia.
Diceritakan pula bahwa seorang penduduk desa dihardik oleh pasukan yang bertugas di Unit 113 Exxon pada bulan Januari 2001 saat sedang bersepeda menuju pasar setempat untuk menjual sayur.
Prajurit-prajurit yang terlibat kemudian menembak lengannya dan melemparkan granat yang diarahkan padanya. Kemudian ia ditinggalkan begitu saja.
Beruntung dirinya masih selamat dengan hanya kehilangan lengan kanan dan mata kiri dan beberapa luka-luka.
Kisah lainnya yang terjadi pada tahun 2000 diceritakan seorang pria yang mengaku ditangkap dengan tangan terikat dan mata tertutup.
Baca Juga:
- Armia Pahmi Ajak Masyarakat Bersatu untuk Aceh Tamiang yang Lebih Baik
- Aceh Timur Siapkan Peserta MTQ XXXVIII Pidie Jaya
- IRT di Kota Langsa Jadi Korban Penyerangan dan Perampokan Oleh OTK
- Surat Perintah Penangkapan PM Israel Netanyahu Resmi Diumumkan ICC
- Donasi Warga untuk Calon Bupati Aceh Timur Iskandar Alfarlaky – Zainal Abidin
Kemudian ia disiksa selama tiga bulan di “Kamp Rancong” yang terkenal kejam. Kamp Rencong adalah sebuah tempat penyiksaan rahasia yang kemudian terbongkar oleh publik berkat upaya yang dilakukan berbagai organisasi di Indonesia pada tahun 1998.
Nampaknya, sampai akhir tahun ini tempat tersebut masih digunakan. Menurut uraian dalam gugatan itu, setelah tiga bulan disiksa, pria tersebut dibawa keluar gedung.
Kemudian kepadanya diperlihatkan sebuah lubang yang penuh dengan kepala manusia. Para prajurit yang menahannya mengancam akan menambah jumlah kepala di lubang itu dengan kepalanya.
Namun beruntung akhirnya ia dibebaskan. Kemudian serombongan pasukan mendatangi tempat tingalnya dan membakarnya.
Seorang penggugat perempuan menuturkan pengalaman dirinya yang terjadi pada akhir tahun 2000 lalu. Saat itu ia sedang hamil. Namun serombongan pasukan Indonesia menerobos masuk rumahnya dan mengancam akan membunuh dirinya dan anaknya yang belum lahir.
Dua penggugat lainnya menuturkan bahwa suami mereka tewas dibunuh oleh pasukan Indonesia sementara suami yang satu lagi “hilang” dan dianggap sudah dibunuh.
Namun Exxon Mobil menolak bertanggungjawab atas prilaku pasukan yang menjaga fasilitas operasi mereka. Mereka mengatakan Exxon “mengutuk pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk” dan mereka telah mengatakannya “secara aktif kepada presiden Indonesia.”
Sumber : Indozone.id