Oleh : Ahmad Rian (Pendidikan Bahasa Arab Institut IAIN Langsa)
DALAM pengertian kehidupan masyarakat, guru ngaji adalah seseorang yang atas kesadaran tinggi dan panggilan suci bersedia mewakafkan diri menjadi seorang guru Al-Qur’an. Pada awalnya, guru ngaji adalah seseorang yang secara spesifik membimbing ” bagaimana membaca Al-Qur’an yang benar ”.
Namun, pada kenyataanya, guru ngaji tidak sekedar itu, tetapi juga membimbing insan yang belajar (santri semua usia) untuk mengerti apa saja mengenai urusan agama Islam, dari mulai cara shalat hingga merawat jenazah.
Dalam perkembangannya, masyarakat juga menjadikan guru ngaji menjadi sosok yang diharapkan mampu memberikan alternatif dan jalan keluar dalam berbagai persoalan masyarakat (problem solver). Pendidikan untuk mencetak anak menjadi ” pembaca Al-Qur’an yang mahir serta berakhlak mulia ” bertumpu pada pundak guru ngaji.
Pada awal 1990-an, performa guru ngaji berubah menjadi guru ngaji yang memiliki perencanaan yang sangat baik. Ini sebagaimana umumnya manajemen yang sudah kita kenal dan lebih terorganisasi dengan baik meskipun peran dan tanggung jawab guru Al-Quran tidak berubah seperti dahulu.
Melihat realitas kehidupan ini, sesungguhnya guru ngaji ahirnya adalah agen perubahan bagi masyarakat. Setiap orang yang ingin dirinya atau putra-putrinya mampu membaca Al-Qur’an dan berakhlak mulia, maka ” guru ngaji-lah yang akan bertandang ” mengerjakan kewajiban tersebut. Tidak jarang orang tua murid yang mengatakan kepada guru ngaji, ”Ustad, mohon dibimbing anak saya ini. Saya ingin dia menjadi anak saleh, jangan seperti saya tidak bisa membaca Al-Qur’an”. Jadi, hampir pasti tidak satu pun orang tua kecuali menghendaki agar anak keturunannya menjadi anak yang baik dan larinya kepada guru ngaji.
Peran sentral guru ngaji ini semakin lama semakin diperlukan seiring era dan perkembangan zaman. Dalam suatu penelitian pada 1980 yang dilakukan Departemen Agama RI (sekarang Kemenag) dinyatakan bahwa turun dan naiknya kualitas spiritual dan mengaji Al-Qur’an di negeri ini ada di tangan guru ngaji. Kondisi tersebut hingga sekarang masih sama.
Pada era dan zaman apa pun, guru ngaji berperan seperti itu. Kalaupun kemasan dan istilahnya berubah, esensinya tetap sama. Melihat posisi peran yang sedemikian penting, kita tidak bisa diam. Kita harus berbuat bagaimana menyiapkan guru ngaji yang memadai untuk realitas kebutuhan masyarakat tersebut.
Alhamdulillah, BPTQ Muwahhidin Gp. Jawa Belakang, Langsa dalam gerakan dakwahnya focus mengambil peran ini. Tiada detik dan waktu kecuali mengadakan upgrade atau pembinaan dan pendampingan guru ngaji (atau guru Al-Qur’an). Pembinaan ini diharapkan agar kualitas mereka semakin baik seiring dengan kondisi tantangan dan perkembangan zamanya.
Foto Ketika anak-anak santri sedang pengajian tahfizh
Komitmen: (1) Mampu memberikan dorongan semangat belajar serta mengarahkan santri menjadi anak yang baik. Memberi contoh yang baik (uswatun hasanah) kepada santri baik perkataan maupun perbuatan. Tidak mempermasalahkan khilafiyah, perbedaan metode mengaji, ataupun hal lain yang dapat mengurangi nilai ukhuwah Islamiah. Berakhlak mulia dan rajin ibadah, terutama ibadah mahdloh. Selalu mendoakan santri, wali santri, sesama ustad, dan lembaganya.
Kompetensi:
Mampu melafalkan huruf Al-Qur’an sesuai makhraj-nya. Bacaan Al-Quran tartil. Menguasai teori tajwid dasar dan musykilat-ghorib. Mampu menulis Arab dasar (kalimat) dengan benar. Menguasai materi keislaman, terutama yang menyangkut materi yang ditargetkan dalam kurikulum. Mempunyai metode dan pendekatan yang baik terhadap santri serta mempunyai kreativitas cukup.
Semoga Allah menggerakkan kesadaran semua insan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai bacaan dan rujukan utama dan pertama menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur. (Ust. Fadhil Ramadhan).