Khairul Amri Ismail, S.H., M.H
Mahasiswa Doktor Filsafat Universitas Islam Sultan Sharif Ali Brunei Darussalam.
_”Rusaknya Satu Peradaban Karena Lemahnya Penerapan Nilai-nilai Islam”_ Wujudnya peradaban Islam dalam suatu negara tentunya tidak terlepas dari kebijakan politik dan peran para ulama.
Ulama berperan memberikan nasehat kepada setiap umat termasuk pemerintah, sementara aktor politik berperan penting dalam mengatur dan menentukan berbagai kepentingan rakyat termasuk peradabannya, terlebih mereka sendiri sebagai pemerintah pasca menang pada pesta pemilihan umum (PEMILU) dalam negara demokrasi. Maka peradaban dalam suatu wilayah adalah cerminan dari tatakelola pemerintahan.
Khususnya di Serambi Mekah (Aceh) bahwa terwujudnya peradaban Islam di Aceh sudah menjadi harapan bersama. Bagi masyakat Aceh, tegaknya Syari’at Islam adalah pintu keberkahan dan kejayaan. Tiada arti suatu kejayaan dalam pembangunan Aceh jika pembangunan itu bergeser dari nilai-nilai Agama.
Baca juga: FAKTA SENGIT PERSAINGAN POLITIK DI ACEH
Baca juga: MELIRIK CALON PENGKHIANAT ACEH DI GERBANG PEMILU 2024
Namun demikian, perkembangan politik akhir-akhir ini telah menghapus harapan mulia itu. Betapa tidak, bahwa Aceh pernah dinobatkan sebagai provinsi termiskin se-Indonesia dan banyak masyarakat yang menduduki rumah-rumah yang tidak layak huni, sementara Aceh telah diberikan dana Otsus yang cukup tinggi mencapai 88,838 triliun sejak tahun 2008 hingga 2021.
Bahkan di tengah kucuran anggaran Otsus yang begitu tinggi, kualitas pendidikan Aceh justru sangat terpuruk. Pada tahun 2021 hasil Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Aceh berada pada peringkat 28 terbawah kelulusan siswa dengan nilai rata-rata 446.7 dalam bidang pemahaman bacaan dan menulis dari total 38 Provinsi di Indonesia.
Ditambah lagi pelanggaran hukum jinayat di Aceh yang sangat sering terjadi di setiap tahunnya, seperti zina, khalwat, pergaulan bebas, sabu-sabu, pemerkosaan dan pembunuhan. Isu ini telah tersebar luas di berbagai media sosial. Ini merupakan isu yang sangat memalukan terlebih Aceh adalah negeri syari’at Islam.
Apa yang terlintas di benak kita akan keadaan tersebut.? Apakah karena buruknya tatakelola pemerintahan di Aceh atau karena mereka tidak peduli akan pembangunan Aceh yang lebih berkualitas.?
Ulama Aceh senantiasa mencoba menyeru kepada pemegang kekuasaan agar melakukan perbaikan terhadap fakta buruk itu, namun seruan mereka bagaikan suara nyamuk di luar kelambu. Seolah mereka tak perlu lagi kepada Ulama, tetapi sangat menyakitkan mereka datang lagi kepada Ulama di saat pesta pemilu akan segera tiba. Apakah politik itu kotor atau kita yang mengotori politik ?
Oleh demikian, Ulama Aceh sepakat dan komitmen untuk terlibat langsung dalam dunia perpolitikan dan pemerintahan guna mengembalikan peradaban Aceh ke arah yang lebih baik yang sesuai dengan panduan Agama.
Islam mengajarkan bahwa pendidikan, ekonomi dan sosial masyarakat wajib dibina dan disejahterakan dengan sewajarnya. Memperjuangkan kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab dan kewajiban pemerintah. Jika tidak, maka ulama mesti turun langsung mengatasinya.
Sudah saatnya kita sadar dan membuka mata bahwa baik dan buruknya kehidupan masyarakat dalam suatu negara adalah terletak pada tatakelola pemerintahannya. Dalam sistem demokrasi, orang yang kita pilih dan yang dimenangkan adalah orang yang akan mengelola pemerintahan dan hak-hak kita.
Oleh karena itu, keterlibatan ulama dalam politik dan pemerintahan adalah langkah yang tepat pada zaman ini bahkan Ulama perlu didorong untuk terlibat langsung di dalam pemerintahan agar Aceh kembali dan tetap berada pada kedudukan yang mulia.
Selaku generasi Aceh, saya berharap kepada seluruh rakyat Aceh untuk benar-benar berjuang dengan para Ulama untuk mewujudkan cita-cita kita bersama, yakni membangun peradaban Islam di Aceh, karena Aceh sedang tidak baik-baik saja.[]