Infoacehtimur.com – Negosiasi perjanjian dagang terkait tarif resiprokal untuk komoditas dan barang Indonesia yang masuk ke Amerika, sudah bergulir sejak awal tahun 2025. Semua ini bermula pada pengumuman Liberation Day di Amerika pada April 2025 yang mengumumkan bahwa produk Indonesia yang masuk ke Amerika dikenakan tarif resiprokal sebesar 32 persen oleh Pemerintah Amerika Serikat.
Menanggapi hal itu, Pemerintah RI melakukan perundingan dan negosiasi dengan AS, hasilnya terbitlah kesepakatan pada 22 Juli 2025 bahwa pengenaan tarif resiprokal terhadap Indonesia turun menjadi 19 persen.
Tahapan proses pembuatan perjanjian dagang terus berjalan, hingga pada Selasa 23/12/2025, Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto melalui siaran pers menerangkan bahwa perundingan dan negosiasi dengan AS sudah rampung, selanjutnya penandatanganan perjanjian dagang AS-RI pada Januari 2026 mendatang.
“Kami telah melakukan pertemuan dengan United States Trade Representative, dan alhamdulillah pembahasan berjalan sangat baik,” kata Menko Perekonomian melalui Siaran Pers, Selasa (23/12).
Hasilnya, AS membebaskan tarif dagang bagi komoditas Sawit, Kakau, Kopi dan Teh yang diekspor ke AS. Sedangkan produk lainnya tetap dikenakan “tarif masuk” AS sebesar 19 persen.
Pembebasan Tarif Tidak Gratis
Pengurangan tarif dari semula 32 persen menjadi 19 persen, dan Pembebasan tarif untuk Minyak Sawit, Kakau, Kopi dan Teh tidak gratis, Sumber daya alam indonesia menjadi bahan pertukaran.
AS menuntut akses masuk perusahaan ‘Negeri Paman Sam’ untuk eksploitasi Sumber Daya Alam mineral kritis Indonesia, yang merupakan komoditas modal ketahanan energi dan ekonomi bangsa. Akses terhadap mineral kritis Indonesia artinya AS menyentuh inti kepentingan industri dan pertahanan Indonesia.
Mineral Kritis, menurut Keputusan Menteri ESDM adalah mineral yang memiliki kegunaan penting bagi perekonomian nasional dan pertahanan keamanan negara, memiliki risiko gangguan pasokan, serta tidak memiliki pengganti yang layak. Kepmen ESDM turut memuat beragam kebijakan yang membatasi sehingga akses asing tidak berarti liberalisasi penuh.
Sekurangnya, terdapat puluhan daftar ragam mineral kritis yang dimiliki Indonesia, diantaranya Aluminium, Besi, Lithium, Merkuri, Nikel, Sulfur, dang lainnya dengan total 39 macam.


