Info Aceh Timur, Lhokseumawe – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Banda Aceh telah menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Suaidi Yahya, mantan Wali Kota Lhokseumawe, atas tindak pidana korupsi dalam pengelolaan Rumah Sakit Arun Lhokseumawe.
Vonis tersebut diumumkan oleh majelis hakim yang dipimpin oleh R. Hendral, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Banda Aceh, Banda Aceh, pada hari Rabu.
Dikutip dari Kantor Berita ANTARA, Kamis 18 Januari 2024, vonis lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Suaidi dengan hukuman delapan tahun penjara.
Pada persidangan tersebut, terdakwa Suadi Yahya mengikuti secara virtual dari tempat tidur di rumahnya karena sakit. Terdakwa Suadi Yahya merupakan Wali Kota Lhokseumawe dua periode yakni 2012-2017 dan 2017-2022.
BACA JUGA: Mantan Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya Jadi Tersangka Korupsi PT RS Arun
BACA JUGA: Diisukan Istri Eks Walikota Lhokseumawe Diperiksa Tim Penyidik Akibat Gaya Hedon
Selain pidana enam tahun penjara, majelis hakim juga menghukum terdakwa Suaidi Yahya membayar denda Rp300 juta subsidair tiga tahun penjara. Serta membayar kerugian negara Rp7 miliar, jika tidak dibayar maka dipidana tiga tahun penjara.
Majelis hakim menyatakan terdakwa Suaidi Yahya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Berdasarkan fakta persidangan, majelis hakim menilai terdakwa Suadi Yahya selaku Wali Kota Lhokseumawe menyalahgunakan wewenang dalam mengelola Rumah Sakit Arun pada rentang waktu 2016-2022. Rumah sakit tersebut merupakan hibah dari PT Arun kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe.
“Seharusnya, pengelolaan rumah sakit tersebut dikelola Pemerintah Kota Lhokseumawe melalui unit pelaksana teknis, bukan membentuk perusahaan yang mengelolanya. Akibat kebijakan terdakwa tersebut telah menyebabkan kerugian keuangan negara,” kata majelis hakim.
Majelis hakim tidak sependapat dengan kerugian negara seperti tuntutan jaksa penuntut umum Rp44,9 miliar. Sebab, dari kerugian negara tersebut ada beberapa poin yang menjadi hak penerima seperti biaya pengobatan direksi, uang tunjangan hari raya karyawan, dan lainnya.
“Uang tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan rumah sakit, sehingga dipandang sebagai pengeluaran rumah sakit. Namun, ada sebagian lainnya merupakan pembayaran tidak sah, sehingga patut dinyatakan sebagai kerugian negara,” kata majelis hakim.
Sebelum memutuskan hukuman, majelis hakim mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah memberantas tindak pidana korupsi. Sedangkan hal meringankan, terdakwa belum dihukum.
“Atas putusan ini, kami memberikan waktu selama tujuh hari kepada jaksa penuntut umum maupun terdakwa dan penasihat hukum, apakah menerima atau mengajukan banding,” kata majelis hakim.
Putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Pada persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum Uli Herman dan kawan-kawan menuntut terdakwa Suaidi Yahya dengan hukuman delapan tahun penjara serta denda Rp500 juta subsidair enam bulan penjara.
Sumber: Antara