Infoacehtimur.com / Banda Aceh – Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin meminta DPRA mendengarkan aspirasi seluruh kelompok masyarakat di Aceh dalam menyusun draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Menurutnya, selama ini tim dari DPRA tertutup dalam menyusun draf revisi.
“Masyarakat sudah mendengar bahwa DPRA sudah membentuk tim untuk menyusun draf revisi, tapi publik tidak mendapatkan informasi terhadap draf yang sudah disusun oleh DPRA. Harusnya ini dibuka saja ke publik agar seluruh masyarakat Aceh membaca dan memberikan masukan untuk memperkuat kewenangan Aceh,” kata Safaruddin kepada Serambinews.com, Selasa (13/9/2022).
Safaruddin mengaku dirinya sudah baca bahan revisi yang sedang disusun oleh DPRA, tapi belum dalam bentuk draf melainkan dalam bentuk Daftar Inventarisir Masalah (DIM) yang dibagi dalam beberapa pokok masalah.
Yaitu tentang kedudukan qanun sebagai pelaksana dari UUPA, pembagian urusan pemerintahan, dan frasa (kalimat) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga frasa diatur dengan norma, standar dan prosedur.
“Menurut kami, pasal yang mengatur tentang frasa diatur dengan norma, standar dan prosedur dalam UUPA tidak perlu terlalu dikejar, karena norma tersebut sifatnya tidak dapat mereduksi kewenangan Pemerintah Aceh yang telah diberikan dalam UUPA,” ujar Safaruddin.
Baca juga: Revisi UUPA Sudah Sampai Mana? Ini Kata Iskandar Usman Al-Farlaky
Menurutnya, poin itu sudah ditegaskan dalam pengesahan UUPA, sehingga walaupun norma itu dianggap kalimat ambigu, namun tidak terlalu penting untuk menguras tenaga dan pikiran dalam memperjuangkan kewenangan Aceh yang intinya termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UUPA.
Safaruddin menyatakan, tentang kewenangan Pemerintah Pusat di Aceh dibatasi saja pada politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Sedangkan untuk kalimat urusan pemerintahan yang bersifat nasional dicoret, sehingga semua sektor dapat diatur dengan Qanun Aceh.
“Hal ini untuk menjaga agar jangan terlalu banyak pasal yang diubah. Yang subtansinya dapat diperkuat oleh pasal yang lainnya di dalam UUPA,” ucap Safaruddin.
Selain itu, juga bisa membuka ruang terkait beberapa hal dalam MoU Helsinki yang belum terakomodir dalam UUPA seperti pembentukan Komisi Klaim, penegasan tapal batas Aceh sesuai dengan Peta Aceh tahun 1965, dan juga memperkuat cakupan jangkauan kewenangan Aceh di dalam bidang migas dan kelautan.
“Yang beberapa hal tersebut sudah pernah kami paparkan dalam Duek Pakat (rapat) beberapa bulan yang lalu. Yang di dalam Duek Pakat tersebut banyak juga mendapat masukan lainnya, dan hal ini yang perlu dilakukan oleh DPRA, mendengarkan semua pihak di Aceh seperti dalam penyusunan Rancangan UUPA tempo dulu,” sambungnya.
Baca juga: Sudah 16 Tahun UUPA, Ketua DPRK Aceh Timur Berharap Semoga Segera Direalisasikan
Ketika penyusunan Rancangan UUPA, lanjut Safaruddin, Pansus DPRA sampai membuat 33 kali Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan semua unsur di seluruh Aceh sehingga ketika draf yang disampaikan ke pusat telah merepresentasikan keinginan kolektif masyarakat Aceh.
“Apalagi sudah banyak pihak selain YARA juga telah membuat diskusi maupun FGD tentang persiapan revisi UUPA tersebut. Tim Kerja Pj Gubernur juga telah mempersiapkan kajiannya, ini semakin banyak masukan yang perlu disatukan oleh DPRA,” ujar dia.
“Hanya perlu singkronisasi saja, sehingga nanti Aceh hanya keluar satu draf melalui DPRA yang merupakan buah pikiran dan cita-cita seluruh masyarakat Aceh yang telah ditampung dan disuarakan melalui lembaga DPRA,” demikian Safaruddin.(*)
Baca juga: Ketua DPRA Protes dan Walk Out dari Seminar Uji Publik Rancangan UU Revisi UUPA
Sumber: Serambi Indonesia