Oleh Amni Ahmad Marzuki*
PERJANJIAN untuk menghentikan konflik bersenjata di Aceh dilaksanakan melalui perundingan yang dimediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI). Perundingan menghasilkan kesepakatan antara kedua belah pihak, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan dituangkan dalam Perjanjian Damai Helsinki, kota di Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Perjanjian itu dikenal dengan sebutan MoU Helsinki.
Pemerintah Indonesia dan GAM menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut membangun kembali Aceh pasca tsunami, 26 Desember 2004, dapat dilakukan dan berhasil.
Tepat pada 15 Agustus Tahun 2024, perjanjian itu memasuki usia 19 tahun. Dalam ukuran manusia normal, usia itu melewati usia akil balik; membuat seorang anak menjadi dewasa. Perjalanan waktu 19 tahun Perjanjian Damai Helsinki sendiri bukanlah detik dan menit perputaran jarum jam untuk menghitung waktu. Bagi rakyat Aceh, 19 tahun.
Baca Juga: Mualem : Menangkan Prabowo MoU Akan Rampung
Baca Juga: Tandatangan MoU Penerimaan Anggota Polri 2023, Tranparansi dan Tanpa Biaya
Perjanjian Damai Helsinki adalah penantian dari satu janji yang di dalamnya terdiri dari banyak bab dan pasal untuk dilaksanakan demi perdamaian yang hakiki dan abadi di Aceh.
Hak dan tanggung jawab para pihak
Janji, bagi orang Aceh, adalah sesuatu yang sakral. Karena janji dilandasi oleh moral secara religi, etika secara kebudayaan, dan martabat secara pergaulan. Hal tersebut termaktub pada mukaddimah Perjanjian Damai Helsinki: damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.
Pihak Gerakan Aceh Merdeka melaksanan tanggung jawabnya melakukan decomisioning senjata serta melakukan reintegrasi seluruh pasukan bersenjata untuk hidup normal dalam kehidupan masyarakat. GAM melaksanakan tanggung jawab secara sempurna dan menjalankan bagiannya secara utuh.
Adapun pihak Pemerintah Indonesia juga mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan butir-butir dalam perjanjian damai itu dan menyempurnakannya. Itu yang belum.
Pasal-pasal dalam perjanjian tersebut dibutuhkan aturan pelaksanaan, yaitu undang undang sebagai landasan pemerintah untuk melaksanakan administrasi negara. Namun hal tersebut jangan menjadi “Siyasah Politik” jika kita ikhlas demi perdamaian abadi di Aceh.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh ( DPRA) sebagai wakil Rakyat Aceh, Gubernur sebagai kepala pemerintahan, dapat dan telah melakukan pembahasan dan perumusan undang-undang sebagai tindak lanjut pelaksanaan butir-butir MoU Helsinki.
Namun berbagai kendala masih saja terjadi dengan berbagai alasan ketika dibawa ke Jakarta.
Padahal, seharusnya, Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk memenuhi segala tetak bengek dalam perjanjian damai itu demi terpenuhi hak-hak rakyat Aceh secara sempurna, sesuai perjanjian. Ingat, pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menunaikan seluruh tanggung jawabnya.
Penyelesaian perselisihan
Para pihak dengan niat baik dan keikhlasan menyelesaikan konfilk Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.
Jika masih ada butir-butir MoU Helsinki yang belum mendapatkan kesepahaman dalam pelaksanaan, tentu para pihak, entah itu Pemerintah Indonesia atau GAM, seharusnya duduk kembali guna mencari solusi.***
*) Penulis adalah juru runding masa Jeda Kemanusian dan CoHA.
Editor : Win Genali