ACEH DAN ETIKA POLITIK YANG TELAH HILANG
Oleh: Tengku Khairul Amri Ismail, SH., MH.
Kandidat Doktor Filsafat Universitas Islam Sultan Syarif Ali Brunei Darussalam.
Tanpa mengira apapun bentuk sistemnya, ideologi dan kerangka pemikiran yang mendasari pemerintahan dan pengelolaannya, tidak dapat dinafikan bahwa tujuan akhir setiap pemerintahan adalah untuk mencapai kebaikan dan kesejahteraan rakyat.
Istilah untuk menggambarkan kesejahteraan rakyat tentunya berbeda menurut individu yang memandu pemerintahan. Kadang-kala istilah itu disebut sebagai kemakmuran, keadilan, pembangunan, maslahah, fadhilah, hak asasi dan lain-lain.
Namun demikian, tujuan untuk mensejahterakan rakyat sangatlah mustahil terwujud apabila pemerintahan itu dipandu oleh orang-orang yang buruk etika politiknya. Karena etika politik yang baik merupakan poros utama dalam mencapai tujuan akhir dari pemerintahan. Dan dipastikan bahwa politik tanpa etika akan bermuara pada tindakan yang tidak adil dan tidak bijaksana.
Ahli filsafat Yunani kuno, Plato misalnya menulis The Republics, menegaskan bahwa mewujudkan keadilan merupakan satu keutamaan (virtue) dalam mengelola pemerintahan. Menjelang zaman moderen, berbagai karya tentang etika politik bermuculan seperti Social Contract oleh Rousseau Liberty karangan John Stuart Mill, Philosophy of Right oleh Hegel, Political Treatise oleh Spinoza dan The Prince karya Nicolo Machiavelli.
Sementara dalam tradisi Islam pula terdapat beberapa karya penting seperti Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah karangan al-Farabi, Nasehat al-Muluk oleh al-Ghazali dan al-Ahkam al-Sultaniyyah karya al-Mawardi.
Walaupun banyak karya yang membahas tentang etika politik yang baik, sejarah tetap menyaksikan bahwa prinsip dan nilai murni yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh pemikir tersebut dilanggar oleh banyak golongan pemerintah dan penguasa termasuk rakyatnya sendiri.
Berbagai kezaliman politik terjadi di sepanjang zaman seperti perebutan kekuasaan, jual beli jabatan, korupsi, fitnah dan adu domba yang menjatuhkan marwah negara. Inilah indikasi dari pemerintahan yang dikelola tanpa mengedepankan etika dan agama.
Aceh misalnya, adalah daerah yang pemerintahannya harus dikelola dengan konsep syariat Islam, karena itu lebih sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat Aceh secara keseluruhan. Jika tidak, maka Aceh telah melepas mahkotanya sendiri atau dalam istilah lain; Aceh mati di tangan tuannya sendiri.
Baca Juga: Intelektual USK Sebut Aceh Selalu Berhasil Ketika Dipimpin Akademisi
Baca Juga: POLITISI PENCEMAR BANGSA.?
Baca Juga: FAKTA SENGIT PERSAINGAN POLITIK DI ACEH
Aceh pasca perdamaian hingga saat ini belum mampu menemukan sosok pemimpin yang memiliki etika dan landasan agama yang kuat untuk mengelola Aceh ke arah yang lebih baik. Justru rakyat Aceh senantiasa terjebak dalam lubang yang sama, yakni dibohongi dan diabaikan oleh pemimpinnya sendiri. Ini membuktikan bahwa kecerdasan Intelektual dan spiritual rakyat Aceh dibawah rata-rata. Yaa… Intinya rakyat Aceh kurang cerdas dalam memilih pemimpin.
Satu hal yang sangat aneh dalam jiwa masyarakat kita, ketika kebijakan pemerintah Aceh tidak sesuai syariat Islam, tidak dapat mensejahterakan rakyat, tidak diciptakannya lapangan pekerjaan, maka yang disalahkan adalah pemerintah pusat. Padahal pilkada di Aceh sepenuhnya diserahkan kepada kita rakyat Aceh. Inilah faktanya, kita masih keliru dalam memilih pemimpin.
Oleh demikian, setiap lapisan masyarakat Aceh perlu memperbaiki cara berfikir, membenahi dan memperkuat etika politik guna membangun Aceh ke arah yang lebih baik dan lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam dan adat budaya kita sendiri.
Sejarah membuktikan bahwa Aceh sebelum kemerdekaan Indonesia adalah negara yang berdaulat dan berwibawa, karena Aceh menjadikan etika dan agama sebagai pemandu segala kebijakan dan tindakan.
Etika dan agama adalah suatu kekuatan spiritual yang mampu memadamkan api kezaliman, maka individu yang memandu pemerintahan secara zalim adalah individu yang dibesarkan tanpa etika. Tetapi justru masih sangat banyak rakyat Aceh mencoba membela bahkan mencari pembenaran terhadap tindakan zalim yang dilakukan pemerintah selama ini. Inilah rakyat Aceh yang tidak lagi memiliki prinsip, arah dan tujuan.
Pandangan demikian justru bertujuan mengenepikan fungsi etika dan agama dalam politik dan pemerintahan, sehingga ini akan memberi peluang besar berkecambahnya kezaliman dalam tubuh negeri Aceh. Pemikiran tersebut juga pasti menjadi batu penghalang dalam usaha menyemai etika dalam pemerintahan yang semestinya sangat diperlukan untuk membendung berbagai bentuk kerusakan dan penyelewengan kekuasaan.
Hal tersebut juga akan menimbulkan lebih banyak kekeliruan dalam menafsirkan kebaikan dan kemaslahatan. Jika keburukan telah dipandang sebagai kebaikan, maka akan timbul juga kekeliruan dalam mengambil kebijakan.
Perkara inilah yang secara khusus telah dinyatakan dalam al-Qur’an mengenai orang yang menyangka kerusakan yang dilakukan adalah sebagian dari kebaikan. “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat bencana dan kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: ”Sesungguhnya kami orang-orang yang hanya membuat kebaikan” (al-Baqarah (2:11)
Dalam ayat yang lain juga disebutkan:
“Maukah Kami kabarkan kepada kamu akan orang-orang yang paling rugi amal-amal perbuatannya? (Yaitu) orang-orang yang telah sia-sia amal usahanya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka senantiasa benar dan baik pada apa saja yang mereka lakukan”.(al-Kahfi: 103-4)
Baca Juga: MELIRIK CALON PENGKHIANAT ACEH DI GERBANG PEMILU 2024
Baca Juga: Pemimpin Ideal di Era Digital 4.0
Baca Juga: Kepemimpinan dan 7 Kebutaan
Sekurang-kurangnya, dua perkara penting yang perlu diperhatikan tentang permasalahan umat saat ini. Pertama, generasi muda, masyarakat dan pemimpin harus dididik dengan ilmu yang benar mengenai prinsip-prinsip nilai etika yang jelas. Ini penting untuk membendung ada pihak yang mengambil kesempatan dengan menggunakan kekuasaan dan otoritas untuk menjustifikasi kezaliman.
Kedua, prinsip dan faham kebaikan dan kemaslahatan harus ditunjang pada asas yang lebih kokoh dan kekal. Di sinilah prinsip-prinsip akhlak yang berteras agama dan wahyu memainkan peran yang sangat penting, karena ia bersifat tetap dan tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Sehingga prinsip ini secara otomatis akan menyaring orang yang tepat untuk menjadi pemimpin di Aceh.
Semua ini hanya dapat dilakukan melalui pendekatan agama dan pendidikan moral yang terus-menerus dan melibatkan berbagai pihak masyarakat dan pemerintah. Karena tindakan yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi sebuah ideologi dan prinsip kehidupan. Jika ini tidak dilakukan, maka kata-kata Serambi Mekah untuk Aceh adalah omong kosong dan sampah yang tidak berguna.