Infoacehtimur.com, Langsa – Di saat daerah lain sudah melantik kepala daerah terpilih, Kota Langsa, Provinsi Aceh, justru masih terjebak dalam pusaran birokrasi yang tak kunjung usai.
Jeffry Sentana, yang seharusnya segera dilantik sebagai Wali Kota Langsa, hingga kini masih menunggu kepastian.
Di balik dalih prosedural, muncul pertanyaan. Apakah ini murni persoalan administrasi, atau ada strategi politik yang sengaja dirancang untuk mengamankan kepentingan sebelum tampuk kekuasaan bergeser?
Di tengah ketidakpastian itu, suhu politik di Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Langsa justru memanas.
BACA JUGA: Ruang Kerja Ketua DPRK Langsa Disegel, Manuver Politik Koalisi Kalah?
Penyegelan ruang kerja Ketua DPRK Langsa, Melvita Sari, oleh sejumlah anggota dewan semakin memperjelas bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dipertaruhkan.
Siapa Bermain di Balik Penundaan Ini?
Penundaan pelantikan Jeffry Sentana bukan sekadar soal jadwal yang molor. Beberapa pengamat mencurigai bahwa ini adalah bagian dari strategi politik untuk mengamankan posisi strategis di lingkaran birokrasi sebelum wali kota baru mengambil kendali.
Mengutip berbagai sumber, pengacara Muslim A Gani, SH, MH, CPM, menuding ada indikasi bahwa kekisruhan di DPRK Langsa bukan terjadi secara alami, melainkan bagian dari perebutan akses ke dinas-dinas yang memiliki anggaran besar.
“Akibat kekisruhan internal DPRK Langsa, pasti ada kaitannya dengan perebutan mitra kerja di dinas-dinas ‘basah’. Ini sangat konyol,” kata Muslim, dikutip pada Sabtu (8/3).
Muslim bahkan menegaskan bahwa campur tangan anggota DPRK dalam pengelolaan anggaran dinas adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
“Kalau ada anggota DPRK yang bermain di anggaran dinas, itu haram hukumnya. Mereka sudah punya pendapatan sendiri,” tambahnya.
Lebih dari itu, ia juga menyoroti Komisi 1 (A) DPRK Langsa yang disebut-sebut menjadi alat bagi partai politik untuk menempatkan orang-orang mereka dalam Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Langsa.
Jika benar demikian, maka penundaan ini bukan sekadar soal transisi pemerintahan, melainkan upaya mengunci kepentingan politik sebelum sistem berubah.
Ketika Hukum Tata Negara Bertabrakan dengan Kepentingan Politik
Sementara itu, konflik internal DPRK semakin tajam. Penyegelan ruang kerja Ketua DPRK Langsa, pada 6 Februari 2025 lalu, menjadi simbol dari ketidakharmonisan politik yang semakin dalam.
Penyegelan ini diduga bermula dari polemik perumusan Tata Tertib (Tatib) DPRK. Ketua DPRK, Melvita Sari, menolak menandatangani draft Tatib tanpa berita acara, namun draft tersebut tetap dikirim ke provinsi setelah ditandatangani oleh Wakil Ketua I DPRK Langsa, Burhansyah.
Fraksi PAN dan Fraksi Langsa Juara pun bereaksi keras, meminta agar pembahasan Tatib diulang. Melvita menilai tindakan tersebut sebagai langkah inkonstitusional yang mencederai integritas lembaga.
“Tindakan ini seolah-olah hal wajar, padahal ini merendahkan martabat lembaga legislatif,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa tidak ada satu pun anggota dari koalisi partai pemenang Pilkada yaitu PAN, Golkar, Demokrat, dan Nasdem yang terlibat dalam aksi penyegelan tersebut.
Birokrasi yang Terkunci, Kebijakan yang Tertunda
Saat para elite politik masih berjibaku dalam tarik-ulur kepentingan, masyarakat Langsa menjadi pihak yang paling dirugikan. Tanpa Jeffry Sentana sebagai wali kota definitif, jalannya pemerintahan tersendat.
Program pembangunan yang seharusnya dieksekusi menjadi terkatung-katung dalam ruang hampa birokrasi. Keputusan anggaran tertahan, kebijakan strategis terganjal, dan pelayanan publik berjalan dengan status quo.
Lebih dari itu, konflik berkepanjangan di DPRK juga semakin mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.
Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, para wakil rakyat justru tampak sibuk mengamankan posisi politik mereka sendiri.
Akankah Langsa Keluar dari Jeratan Politik Birokratis?
Hingga kini, teka-teki penundaan pelantikan Jeffry Sentana masih belum terpecahkan. Apakah ini hanya bagian dari proses administrasi yang berjalan lamban, atau ada kepentingan yang sengaja diselipkan dalam celah birokrasi?
Satu hal yang pasti, semakin lama Kota Langsa terjebak dalam kebuntuan ini, semakin besar dampaknya bagi masyarakat. Jika politik terus mengunci birokrasi, maka harga yang harus dibayar bukan hanya ketidakstabilan, tetapi juga stagnasi pembangunan.***