Hari raya (Uroe raya) dalam adat Aceh, berlangsung satu bulan penuh. Momentum ini digunakan masyarakat Aceh untuk saling bermaaf-maafan, membangun silaturahim dan mengunjungi rumah keluarga, guree (guru), handai taulan dan lainnya. Ditambah lagi dengan sajian makanan hari raya (kueh uroe raya), yang berada di setiap meja tamu pada rumah orang Aceh.
Awalnya di setiap malam hari raya, ditandai dengan pemukulan bedug (peh tambo) di surau (meunasah) sambil membaca hikayat kepahlawanan Aceh seperti Hikayat Malem Dagang, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Nur Parisi, Hikayat Hasan Husein dan sebagainya. Berikut petikan dari Hikayat Malem Dagang:
Bismillahirrahmanirrahim, Ajaeb Subhanallah, Tango kukisah raja-raja, Layeue keurajeuen Meukuta Alam, Raja jimeunan lskandar Muda
Pote ade amat sangat, Peutimang rakyat ban sigala donya, Meung rukon meuh muploh kuyan, Han sapeue tan di sroepada
Padum-padum gleueng ngon subang, Meuribee pasang pi hale na, Padum ija itam puteh, yang that leubeh ija boseuta
Artinya:
Bismillahirrahmanirrahhim, Ajaib subhanallah, Dengar kukisah raja-raja, Masa kerajaan Meukuta Alam
Raja bernama Iskandar Muda, Raja adil amat sangat, Memerintah rakyat dalam dunia, Beragam emas banyak sekali
Semua ada pada Sarpada, Macam-macam gelang dan anting, Beribu pasang pun tersedia, Macam-macam kain hitam dan putih, Yang paling indah kain Manggis
(Susunan HKJ. Cowan, Hikayat Malam Dagang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan daerah, Jakarta 1980, h. 14).
Bahkan, dalam Qanun Meukuta Alam yang disusun dan dirancang pada masa Kesultanan Aceh Darussalam (Sulthan Iskandar Muda), disebutkan bahwa setelah melewati bulan Suci Ramadan, sebagai penyempurna ibadah puasa kita, dianjurkan masyarakat untuk saling mengunjungi kerabat, sanak saudara untuk bersilaturahmi, saling bermaaf-maafan jika ada hubungan yang renggang atau bahkan untuk mengeratkan hubungan yang baik.
Selain itu di saat lebaran sudah menjadi adat bagi masyarakat Aceh untuk menghidangkan makanan hari raya (kueh uroe raya) dalam hikayat disebutkan: Peunajöh tünphan, piasan rapa-i (Makanan timphan, hiburan rebana). (Hasyim Mk, TS, Peribahasa Aceh, Dinas Pendidikan dan kebudayaan Daerah Istimewa, Banda Aceh, 1977. h 224)
Maksud dari hikayat ini adalah makanan kehormatan pada hari raya di Aceh ialah timphan dan kesenian yang digemari ialah rapai (rebana). Bahkan dalam suasana di era peperangan juga tidak menyurutkan semangat masyarakat Aceh untuk berhari raya. Dalam literatur Sejarah Aceh disebutkan: Adalah biasa di Aceh dalam bulan puasa penduduk balik ke kampung dan terus ramai-ramai di sana sampai sesudah lebaran. Dalam kesempatan sebagai itu dapat dilihat pula jumlah yang menyusut ketika orang yang bertempur pada kembali lagi meninggalkan kampung (H. Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, PT harian Waspada Medan, 2007. h. 363)
Dalam Kerajaan Aceh sendiri, sultan sangat menaruh perhatian terhadap peraturan berkaitan dengan hari raya, di antaraya dapat dijumpai dalam catatan yang ditulis Muhammad Said:
“Diantara Peraturan Hari Besar Sulthan Aceh memberi kurnia dan kehormatan kepada Uleebakang dan Rakjatnya: Djikalau hari raja fithrah dipasang meriam 21 kali pada pukul lima pagi pagi, awal dari 1 hari bulan Sjawal. 6 Djikalau hari raja hadji dipasang meriam 21 kali pada pukul lima. 10 hari hari itu bulan. 7 Hari raja puasa, Panglima Sagi dan UIeëbalang dalam Sagi berkumpul musapal di mesdjid raja bermusjawarat menentukan bila hari menghadap Radja. 8 Hari jang ketiga dari bulan Sjawal, Panglima dan UIeëbalang jang tersebut pergi menghadap Radja dialas Balai Baital Rahman. 9 Maka Panglima Sagi dan UIeëbalang Sagi jang datang menghadap Radja itu mendapat salinan kepada seorang jaitu satu lembar kain, dikurniai oleh Radja tanda selamat hari raja. 10 Adapun kain jang dikurniakan oleh Radja kepada orang Besar2 itu, menurut kesukaan Radja seria menilik pangkal orang Besar2 itu. 11 Djikalau hari raja hadji, bagaimana peraturan hari raja puasa djuga. 12 Radja sudah ditetapkan berangkat ke mesdjid raja pada hari raja puasa atau hari raja hadji sembahjang hari raja ber-sama2 dengan UIeëbalang jang ada.” (H.M Zainuddin, Tarich Aceh Nusantara,Pustaka Iskandar Muda Medan, 1961, h. 527).
Suasana berhari raya di Aceh hingga hari ini masih kental dengan saling kunjung mengunjungi antara kerabat dan tetangga, biasanya yang besar akan memberikan angpau atau teumeutuek kepada yang kecil, terutama anak -anak sehingga lahir rasa gembira di hati mereka. Begitu juga bersilaturrahmi antara murid dan guru sekaligus ziarah kubur orang tua dan kerabat.
Azmi Abubakar, Penyuluh Agama Islam Asal Aceh, Editor: Muhammad Faizin, Kolomnis: Azmi Abubakar