Oleh: Misratul Khaira
Perpustakaan saat ini berada di persimpangan jalan antara menjadi pusat literasi kecerdasan buatan (AI) atau justru korban dari automasi itu sendiri. Kehadiran AI membawa perubahan besar dalam cara manusia mencari dan memanfaatkan informasi.
Teknologi seperti chatbot, sistem rekomendasi buku otomatis, hingga katalog digital pintar kini mampu menggantikan sebagian pekerjaan pustakawan. Namun, justru di sinilah peluang besar muncul.
Jika perpustakaan mampu memanfaatkan teknologi AI dengan bijak, maka ia bisa menjadi pusat literasi AI bagi masyarakat. Pustakawan dapat berperan sebagai pendamping digital yang membantu pengguna memahami bagaimana teknologi bekerja, bagaimana memilah informasi yang benar di tengah banjir data, dan bagaimana berpikir kritis dalam menghadapi informasi yang dihasilkan mesin.
Literasi AI menjadi keterampilan penting agar masyarakat tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga paham terhadap dampak sosial dan etika dari kecerdasan buatan.
Sebaliknya, jika perpustakaan menolak perubahan dan tetap terpaku pada sistem lama, maka ancaman automasi tidak bisa dihindari. Perpustakaan bisa kehilangan fungsinya sebagai sumber belajar karena masyarakat lebih memilih mesin pencari atau aplikasi cerdas yang serba cepat. Pustakawan pun berisiko tergeser jika tidak memperbarui kompetensinya.
Maka, pilihan ada di tangan perpustakaan: berinovasi atau tertinggal. AI bukan musuh, melainkan alat bantu yang dapat memperkuat peran perpustakaan di era digital. Dengan memadukan nilai kemanusiaan, kemampuan berpikir kritis, dan teknologi, perpustakaan dapat menjadi pusat literasi AI yang memberdayakan Masyarakat bukan korban dari kemajuan teknologi.
Apakah perpustakaan akan tetap menjadi pusat pengetahuan yang manusiawi, atau justru kehilangan jati dirinya karena tergantikan mesin?
*Antara Buku dan Algoritma
Perpustakaan kini berdiri di persimpangan antara tradisi dan teknologi. Rak-rak buku masih menyimpan pengetahuan klasik yang tak lekang oleh waktu, sementara kecerdasan buatan (AI) mulai mengambil peran penting dalam pengelolaan informasi. Mulai dari katalog otomatis, chatbot layanan pengguna, hingga sistem rekomendasi bacaan yang bekerja berdasarkan data dan algoritma.
Menurut Siti Maesaroh (2022), dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia, kemajuan teknologi seperti AI bukan ancaman bagi pustakawan, tetapi tantangan untuk mengembangkan kompetensi baru. Pustakawan harus mampu memahami cara kerja sistem cerdas dan berperan sebagai penghubung antara manusia dan teknologi informasi.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat Michael Buckland (pakar ilmu perpustakaan dunia), yang menyebut bahwa esensi perpustakaan bukan hanya pada koleksi, tetapi pada “akses dan makna informasi.” Dengan kata lain, meski teknologi bisa mempercepat proses, manusia tetap dibutuhkan untuk menafsirkan, memandu, dan memastikan informasi digunakan secara etis.
Perpustakaan masa depan dapat menjadi pusat literasi AI tempat masyarakat belajar mengenal teknologi, data, dan etika digital. Seperti kata UNESCO (2023), literasi digital dan AI kini termasuk bagian dari hak belajar sepanjang hayat, dan perpustakaan punya peran besar dalam mewujudkannya.
Maka, masa depan perpustakaan tidak ditentukan oleh seberapa canggih algoritmanya, tetapi oleh seberapa bijak manusia di baliknya memanfaatkan teknologi untuk menumbuhkan pengetahuan dan kemanusiaan.
*Belajar Bersama AI, Tanpa kehilangan Jati Diri
Di era digital yang semakin canggih, kecerdasan buatan (AI) sudah menjadi teman baru dalam proses belajar. Dari menjawab pertanyaan sulit sampai membantu menulis tugas, AI seolah memberi kemudahan tanpa batas. Namun, di tengah kemajuan ini, kita perlu sadar bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan pengganti manusia.
Belajar bersama AI berarti kita memanfaatkan teknologi untuk memperluas wawasan, bukan untuk berhenti berpikir. Justru dengan AI, kita bisa belajar lebih cepat, menemukan informasi lebih luas, dan memahami hal rumit dengan cara yang sederhana. Tapi di sisi lain, kalau terlalu bergantung, kita bisa kehilangan jati diri sebagai manusia yang punya rasa ingin tahu, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis.
Dan dengan AI kita bisa memanfaatkan untuk mempercepat pemahaman, mengasah logika, dan menemukan ispirasi. Namun, hasil akhir dari proses belajar tetap harus berasal dari diri sendiri. Misalnya, saat menggunakan AI untuk menulis, jadikan hasilnya sebagai referensi, bukan salinan mentah. Kita perlu menambahkan sudut pandang pribadi, nilai, dan gaya berpikir kita sendiri. Dengan begitu, hasil belajar tetap mencerminkan siapa diri kita.
Menjaga jati diri berarti tidak kehilangan semangat untuk berpikir kritis dan mandiri. AI boleh membantu, tapi keputusan dan arah berpikir tetap harus datang dari manusia. Dunia mungkin akan terus berubah, tapi nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan rasa ingin tahu tidak boleh luntur hanya karena teknologi semakin pintar.
Belajar bersama AI bukan ancaman, melainkan peluang. Asalkan kita bisa menyeimbangkan antara kecanggihan teknologi dan keaslian diri, maka AI akan menjadi teman terbaik untuk berkembang bukan alat yang membuat kita kehilangan arah.
Jati diri dalam belajar terletak pada bagaimana kita mengolah informasi, bukan sekadar menyalin hasil dari mesin. AI tidak punya emosi, pengalaman hidup, atau nilai kemanusiaan yang kita miliki. Maka, penting bagi kita untuk menempatkan AI sebagai partner belajar bukan guru utama. Dengan begitu, kemajuan teknologi tetap bisa kita nikmati tanpa kehilangan karakter, integritas, dan kemandirian berpikir.
Belajar bersama AI adalah kesempatan, tapi menjaga jati diri adalah tanggung jawab. Kita boleh pintar karena AI, tapi tetap harus bijak sebagai manusia.
*Di Akhir
Perpustakaan seharusnya tidak takut terhadap kemajuan AI, tetapi justru menjadikannya alat untuk memperkuat fungsi literasi. Pustakawan perlu berperan sebagai pemandu masyarakat dalam memahami teknologi ini mengajarkan bagaimana AI bekerja, apa kelebihan dan risikonya, serta bagaimana menggunakannya secara etis. Dengan begitu, perpustakaan bisa menjadi pusat literasi AI yang membantu masyarakat tidak hanya cerdas membaca buku, tetapi juga cerdas membaca data dan informasi digital.Namun, kalau perpustakaan hanya diam dan tidak beradaptasi, ancaman automasi bisa menjadi nyata.
Banyak pekerjaan rutin bisa diambil alih oleh sistem cerdas, dan peran pustakawan akan semakin dipersempit. Oleh karena itu, kuncinya ada pada kesiapan manusia di balik perpustakaan: pustakawan yang terus belajar, terbuka terhadap inovasi, dan tetap menanamkan nilai kemanusiaan di tengah derasnya teknologi. Karena pada akhirnya, secanggih apa pun mesin, empati dan bimbingan manusia tetap tak tergantikan.
_Buku dan algoritma bisa berjalan bersama, selama manusia tetap memimpin arah pengetahuan_

