Rektor USK Prof Syamsul: Sekda Aceh Cuma Bisa Gunakan Model Manajemen Sapu
Banda Aceh | Besarnya dana Aceh yang menjadi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan ((SILPA) saban tahun serta mengendapnya dana (APBA 2021) Rp4 triliun lebih di bank. Ternyata tak hanya menjadi atensi khusus Presiden RI Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian.
Selanjutnya, ikut menyita perhatian Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng., IPU.,ASEAN.,Eng. Guru besar USK ini mengaku heran dengan kinerja aparatur Pemerintah Aceh, khusus Sekda Aceh dr. Taqwallah yang juga Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA).
“Coba lihat, dari tahun ke tahun, dana SILPa terus bertambah. Ini membuktikan ada yang tidak beres dari kinerja dan tata kelola pemerintahan, khususnya keuangan,” kritik Prof Syamsul, Kamis, 30 Desember 2021 di Banda Aceh.
Menurut Prof Syamsul, selama ini pembangunan Aceh sangat tergantung pada transfer dana dari pusat. Baik Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Otonomi Khusus (Otsus). Sebab, tidak ada industri skala menengah dan besar yang tumbuh dan berjalan di Aceh. Akibatnya, berpengaruh pada pendapatan asli daerah (PAD).
“Tapi, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi momok yang sangat memalukan untuk Aceh. Lebih tragis lagi, Aceh tak hanya mengalami darurat kemiskinan.Tapi juga darurat pengangguran, darurat stanting, darurat narkoba, darurat bencana, darurat judi online, darurat korupsi serta darurat kekerasan seksual,” ungkap Prof Syamsul.
Ironisnya, dana dalam jumlah besar itu pun tak mampu dikelola dengan baik atau menjadi stimulus serta lokomotif bagi tumbuhnya perekonomian rakyat.
“Padahal, berbagai dana dari pusat tersebut, harusnya dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan serta perekonomian rakyat, sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukan justeru dikembalikan ke pusat atau menjadi Silpa,” ungkap Prof Syamsul.
Itu sebabnya nilai Prof Syamsul. “Bencana” birokrasi ini terjadi karena Sekda Aceh tak mampu bekerja dengan baik dan sesuai dengan tupoksinya.
“Yang terjadi ibarat orang menyapu. Setelah bersih di depan, lalu kotor kembali di bagian belakang. Begitulah terus berulang-ulang sejak lima tahun terakhir. Lalu, jika ada yang kurang beres, lakukan gonta ganti pejabat. Ini yang saya sebut manajemen menyapu ,” ujar dia.
Kondisi ini memang kontras dengan apa yang digaungkan selama ini.
“Rapat-rapat sampai larut malam, tetapi hasilnya Silpa sangat besar. Artinya, Ketua TAPA atau Sekda Aceh kerjanya tidak fokus dan tidak tahu apa yang di kerjakan. Tupoksi Sekda saja tidak beres apalagi mau kerja lain,” kritik Prof Syamsul.***