Temuan lainnya, Suhendri melakukan verifikasi terhadap sembilan kelompok yang dia tentukan tanpa melalui mekanisme yang berlaku.
Dalam persidangan pada 8 November 2024, JPU menyatakan Suhendri menerima fee sebesar Rp9 miliar lebih dalam proyek fiktif tersebut.
“Untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain ingin memakai terdakwa satu Suhendri menerima fee sekitar Rp9.600.720.648,” kata JPU saat membacakan dakwaan di hadapan majelis hakim.
Selain Suhendri, sejumlah saksi juga disebut menerima fee, seperti saksi Zamzami (tersangka dalam berkas terpisah) menerima fee sebesar Rp3 miliar lebih. Sementara Muhammad, Mahdi, dan Zulfikar, masing-masing menerima fee senilai Rp750 juta. Saksi lainnya, Hamdani, menerima Rp10 juta.
Baca Juga: Kunjungan Kerja Menteri Sosial ke Aceh Timur Beri Sumbangan 1 Milyar Lebih
Baca Juga: Sentra Insyaf Serahkan Bantuan Sembako dan Peralatan Sekolah
Proyek BRA itu telah dijadikan alat untuk memperkaya diri dan kroni. Namun, ada dugaan bahwa proyek itu tak hanya dinikmati Suhendri dan lima orang lainnya.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian menjelaskan, kasus korupsi proyek Rp15,7 miliar itu terlalu besar untuk hanya dinikmati enam orang. Ada kemungkinan pihak lain di Sekretariat BRA ikut terlibat dalam kesalahan administrasi yang masuk kategori tindak pidana korupsi.
“Kita harap fakta-fakta yang muncul di persidangan tidak ditutupi,” kata Alfian kepada Pintoe.co.
Menurut Alfian, kerugian negara sebesar Rp15,7 miliar tidak hanya disebabkan oleh kesalahan administrasi dari lima orang yang sudah ditahan. Kemungkinan dana tersebut juga mengalir ke pihak lain dan ini perlu ditelusuri dalam persidangan.
Orang-orang yang memimpin BRA sejak lembaga ini dibentuk diketahui dekat atau berafiliasi dengan Partai Aceh, partai yang dibentuk oleh mantan GAM seusai perjanjian damai dengan Pemerintah Indonesia. Dalam perjalanannya, sudah jadi rahasia umum, elite Partai Aceh kerap “mengatur” anggaran pengadaan proyek lembaga ini.
Hal ini tidak keliru apabila anggaran tersebut betul-betul diarahkan untuk membangun kesejahteraan mantan kombatan GAM dan masyarakat Aceh korban konflik.
Namun, kenyataannya masih banyak mantan kombatan GAM dan korban konflik hidup melarat dan jauh dari sejahtera. Mereka seperti tak mendapat sentuhan dari BRA yang “dikontrol” elite Partai Aceh. []