Kerusuhan Mei yang terjadi pada 20 tahun yang lalu masih menyisakan luka bagi orang yang mengalaminya. BBC Indonesia menemui sejumlah orang yang menyaksikan atau mengalami langsung kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei tersebut.
Candra Jap “Apa salah kami sampai (diancam) mau dibakar dan dibunuh?”
Tak jauh dari Plaza Glodok, Candra Jap yang 20 tahun lalu masih SMP, tengah mengerjakan soal Ebtanas hari terakhir ketika mendengar teriakan pertokoan glodok dibakar.

Dari jendela ruang kelasnya di lantai 3, Candra melihat asap dari pertokoan Glodok Plaza. Pikirannya pun tak tenang.

“Guru waktu itu bilang selesaikan saja sebisanya, lalu pulang,” jelas Candra.
Setelah mengerjakan soal Candra pun pulang ke rumah yang tak jauh dari rumah. Sampai di rumah, pintu dan jendela ditutup, dan dia pun tak boleh keluar rumah sampai sekitar tiga hari.
“Dari rumah bisa kelihatan tuh rumah teman saya di seberang kali, ada rumahnya dijarah, mobilnya dibakar,” ungkap Candra, “Teriakannya ga enak didengar ‘bakar Cina, bunuh Cina, jarah.”

Bagi Candra yang baru berusia sekitar 15 tahun, teriakan itu mengusik hatinya “Untuk anak kecil yang sejak kecil didoktrin pelajaran PMP sampe berpikir, salah kami apa, sampe (diancam) mau dibakar atau dibunuh, dan polisi pun tidak ada saat itu,” kata Candra.
Ketika bertanya pada orangtuanya, dia tak mendapat jawaban “Udah diam kata orang tua ini masalah politik,” kata Candra.
Sepanjang hari, Candra melihat orang-orang berseliweran membawa barang-barang yang diambil dari pertokoan. “Ada ibu-ibu yang mengangkat kulkas dua pintu, dan barang-barang lainnya,”kata Candra.
Sekolah pun diliburkan dan setiap hari Candra dan para tetangga berjaga-jaga di sekitar rumah.
Baca Juga: 23 Tahun Tragedi Arakundo
Dalam Sehari 3 Peristiwa Kecelakaan di Aceh Timur, dan Ini Truk Terbalik di Tikungan Idi Cut
“Semua anak cowo bawa sapu golok untuk jaga-jaga buat blokadę di rumah masing masing, gerobak sampah ditutup itu kalau ada gerombolan lewat, ada juga yang sempat lewat tapi tidak diapa-apain, karena yang jaga banyak orang yang bukan Tionghoa.
Ketika kembali sekolah, banyak teman-temannya yang tak kembali lagi “Banyak yang pergi keluar negeri sampai beberapa tahun lalu baru kembali,” kata dia.

Sri Lestari : BBC Indonesia