Infoacehtimur.com, Nasional – Perdebatan tentang nasib eks calon legislatif (caleg) dari pendamping desa masih terus berlangsung. Kebijakan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemendesa PDT yang mewajibkan mereka untuk mengundurkan diri dari posisi pendamping desa jika tidak mengajukan cuti resmi saat mencalonkan diri, menuai pro dan kontra.
Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai upaya membersihkan posisi pendamping desa dari kepentingan politik. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga dinilai diskriminatif dan tidak berpihak pada hak eks caleg untuk kembali bekerja setelah kegagalan di dunia politik.
Menurut ahli politik, kebijakan ini harus dibuat lebih transparan dan adil. “Tidak semua eks caleg berperilaku sama, dan seharusnya ada mekanisme yang bisa menilai secara lebih spesifik siapa saja yang melanggar etika profesionalisme dan siapa yang tidak,” ujarnya.
Baca Juga: 200 Pendamping Desa di Aceh Akan Dipecat
Baca Juga: Selewengkan Dana Bansos Pendamping PKH ini Terancam Hukuman Penjara Seumur Hidup
Selain itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem kerja pendamping desa agar kasus serupa tidak berulang di masa mendatang. “Jika benar ada celah yang memungkinkan politisasi dalam pendampingan desa, maka celah itu harus ditutup dengan regulasi yang lebih ketat,” tambahnya.
Dalam menjaga profesionalisme dan integritas dalam sistem pendamping desa, prinsip keadilan harus dijaga agar tidak ada pihak yang menjadi korban akibat dendam atau kepentingan lain yang tidak relevan.
Pendamping desa adalah elemen penting dalam pembangunan desa, dan posisinya tidak boleh terkontaminasi oleh kepentingan politik sesaat. Oleh karena itu, perlu adanya refleksi bersama untuk membangun sistem yang lebih baik dan adil bagi semua pihak.